Sabtu, 31 Agustus 2013

Sepotong Cinta dalam Diam Karya Asma Nadia dalam kumpulan cerpen Cinta Laki-laki Biasa

Jakarta, tahun pertama



Perempuan,



Kau pasti tahu sakitnya cinta yang tak terkatakan. Cinta yang hanya mampu didekap dalam bungkam.



Kata orang bahkan diam berbicara. Tapi menurutku, hal itu tidak berlaku dalam cinta. Sebab cinta harus diekspresikan dan pantang dibawa diam. Sebab cinta harusnya dinyatakan, lalu dibuktikan dengan sikap. Begitu seharusnya cinta.



Tapi aku memang tidak punya pilihan.



Maafkan!



SEBUAH bingkisan dan sepucuk surat tergeletak di bibir ranjang. Dee memandangnya dengan keingintahuan yang besar. Matanya yang memiliki kelopak indah terbuka lebar. Sementara mulutnya sejak tadi menimbulkan suara gumaman tak jelas. Kedua bola mata gadis itu tak beranjak juga dari bingkisan dan sepucuk surat yang ditempel menyatu dengannya.



Paket kesasar, kalau boleh disebut Dee demikian, diterimanya pagi ini dari tukang pos, lelaki tua yang mengayuh sepeda dengan susah payah. Dee tidak mengerti mengapa lelaki itu masih bersikeras mengantar surat hanya dengan sepeda, sementara tukang pos yang lain telah lama meninggalkan kendaraan antik itu, beralih ke sepeda motor.



“Buat siapa, Pak?”



Tukang pos itu tak menjawab. Hanya memintaku menerima paket kesasar itu.



“Kok nggak ada namanya, Pak? Yakin buat di sini?”



Kali ini Pak Pos menggerakkan telunjuknya pada alamat lengkap yang tertulis di bagian atas amplop yang menempel pada sebuah paket.



Jl. Kebon Kosong Gg. I no 10 A.

Kemayoran, Jakarta Pusat



Dee tersenyum. Kagum dengan konsistensi Pak Pos tua di depannya. Sejak dulu lelaki itu tak pernah banyak bicara. Pekerjaannya sendiri memang hanya mengantarkan surat. Jadi sama sekali bukan kesalahan jika Pak Tua itu melakukannya dengan sedikit bicara atau sekedar menyodorkan amplop. Lagipula tidak akan ada yang memberinya bonus lebih seandainya ia bersikap ramah dan sedikit berbasa-basi.



Dee tidak menyalahkan si tukang pos yang tanpa ragu menyodorkan sebuah bingkisan dengan sepucuk surat menempel di atasnya ke rumah Dee. Sebab alamatnya memang tertera jelas.



Masih dengan segudang rasa penasaran Dee membawa langkahnya masuk ke dalam rumah sambil menenteng paket dari Pak Pos barusan. Lalu gadis berusia duapuluh tiga tahun itu menjatuhkan paket di tangannya ke sofa, tempat tiga gadis lainnya sedang asyik menonton tivi.



Paket meluncur dan jatuh tepat di tengah-tengah sofa. Tiga gadis kaget, melupakan tontonan seru Oprah Winfrey’s Show dan berebut lebih dulu mengambil paket yang jatuh. Andra yang pertama berhasil merebut paket yang jatuh dekat pangkuan Ita. Hiruk-pikuk segera terjadi.



Ita berusaha merebut paket yang jatuh di pangkuannya sebab mengira itu memang ditujukan Dee untuknya. Sementara Anik tidak mau tinggal diam, ikut bertarung. Adegan a la anak kecil itu berlangsung cukup seru, setidaknya di mata Dee. Sayang semua menjadi antiklimaks ketika Andra, Ita, dan Anik tak menemukan nama yang dituju sang pengirim. Amplop yang menempel pada bingkisan itu kosong. Hanya ada sebuah alamat yang ditulis tangan.



Ketiganya lalu mengalihkan pandangan pada Dee yang barusan menjatuhkan badan ke sofa.



“Dee, paket siapa, nih?”



“Kok nggak ada nama pengirimnya?”



“Boro-boro pengirim. Nama yang dituju aja nggak ada!”



Dee tersenyum, menegakkan duduknya. Kepala gadis itu dicondongkan ke depan, hingga berhadapan cukup dekat dengan wajah ketiga temannya.



“Aneh kan?”



Andra, Ita, dan Anik mengangguk.



“Memang aneh!”



Dee menjatuhkan badannya lagi, tertawa geli sendiri.



“Tidak lucu!” Andra serta-merta menukas.



Anik yang tampak berpikir keras menambahi, “Pengirimnya pasti memang ingin membuat bingung kita!”



Ita lain lagi pendapatnya, gadis berkulit hitam manis itu merebut bingkisan di tangan Anik, lalu mendekatkannya ke telinga, sebelum mengembuskan nafas lega. Ia tak mendengar suara detak jam dari dalam bingkisan.



“Aman!”



Kesunyian berlangsung. Tidak terlalu lama sebab Dee yang cerewet dan punya banyak ide langsung mengajukan usul.



“Kita buka saja!”



Tiga gadis sebaya di depannya berpandangan, lalu menggelengkan kepala.



“Kita nggak bisa membuka paket yang bukan untuk kita, Dee. Itu namanya lancang dan tidak amanah!”



Dee diam lagi. Tapi tidak berapa lama mata bulatnya bersinar lagi.



“Kalau begitu kita buka, terus kita bungkus lagi, gimana? Siapa tahu penjelasannya ada di dalam bingkisan ini?”



Andra cepat membantah, “Itu juga nggak boleh Dee. Kita nggak boleh membuka bingkisan ini, kecuali memang yakin milik kita. Siap tahu paket ini nyasar ke alamat sebelah. Mungkin saja kan pengirimnya salah menulis alamat.



Ya, memang mungkin.



Dee mengerutkan kening, bibirnya bergumam tak jelas, khas gadis itu jika sedang berpikir keras.



“Jadi gimana dong?”



Kali ini Ita yang paling tua di antara mereka angkat bicara,



“Kita biarkan dulu tiga hari. Lihat-lihat, siapa tahu Pak Pos kembali dan mengatakan paket ini salah alamat. Simpan saja sementara ini. Ok?”



Dee yang rasa penasarannya sudah melewati ubun-ubun sebetulnya ingin menolak, tapi tak berdaya. Sebab tiga rekannya yang lain sepakat dengan ide Ita. Maka beramai-ramai mereka menaruh paket misterius itu ke atas lemari. Lalu memandanginya lama.



***



Jakarta, tahun ketiga



Perempuan,



Hari-hariku adalah penantian. Perasaan gelisah yang kupikir tidak mungkin ada kini menjadi rutinitas yang harus kuhadapi.



Dulu, aku memang menghindar dari perasaan itu. Jatuh cinta, untuk apa? Aku orang miskin yang harus menyelesaikan sekolah dan seabreg tanggung jawab, sebab Emak, salah satu perempuan yang kuhormati, telah lama ditinggal mati ayah.



Aku tumbuh menjadi lelaki. Sendiri.



Hidupku bagiku merupakan perjuangan keras tanpa batas. Tak jarang aku merasa seperti kapal kecil yang berjalan tanpa rasi bintang. Terapung-apung, sesekali membentur karang, dan harus berbalik arah.



Namun, melihatmu pertama kali di masjid sore itu.

Hatiku begitu saja bicara:

Kau adalah perempuanku. Takdirku!



Untuk pertama kali hidup tak sekadar mengalir.

Sebab kini aku punya cita-cita.



HARI KETIGA, Dee mengangkat paket itu dari atas lemari, lalu menimang-nimangnya. Hatinya menebak-nebak isi bungkusan di tangannya.



Tidak terlalu berat. Tidak sampai satu kilo. Dee tahu pasti sebab barusan ia menaruh bingkisan itu di timbangan. Rasa ingin tahu mendera dara bertubuh jangkung itu. Seharusnya teman-temannya menyetujui usul Dee untuk mencoba menemukan jawaban di dalamnya. Siapa tahu ada label nama pada isi bingkisan itu. Siapa tahu?



Dee menimang-nimangnya lagi, lalu hati-hati meletakkan bingkisan itu di pinggir ranjang. Matanya menyusuri huruf demi huruf tulisan tangan di amplop. Tulisan itu tegas, tegak lurus, dan jelas. Mengingatkan Dee akan tulisan guru-guru bahasa Indonesianya waktu SMA dulu. Tulisan orang zaman dulu, begitu teman-temannya sekelas biasa bercanda.



Pasti penulisnya seorang yang serius, pikir Dee lagi. Tulisan di atas amplop memang jauh dari modern. Begitupun pilihan amplop. Terkesan oldies. Meski begitu entah mengapa itu menyiratkan sesuatu yang dalam.



Dee melihat lebih dekat amplop berwarna biru itu. Tampak guratan-guratan bekas lipitan, juga warna biru yang agak pudar. Seolah surat itu telah menempuh jarak bertahun-tahun sebelum tiba di rumah ini.



Dee tahu, ia tak bisa lagi menunggu.



Tangan gadis itu menyobek pinggiran kertas coklat dan meraih sebuah amplop yang meluncur dari dalamnya. Namun baru sedikit ia membaca, terdengar langkah mendekati kamar. Ketika Dee mengangkat wajah, Andra, Ita, dan Anik menatapnya dengan tangan terlipat di dada, berdiri gagah di pintu. Terlambat, Dee tak sempat menyembunyikan surat yang sedang dibacanya. Tak ada kesempatan lagi. Ita langsung merebut dan mengembalikan surat yang juga tampak lusuh dan penuh lipitan dan menaruhnya di atas bingkisan.



“Curang!”



Anik mengecam Dee. Tidak hanya itu, Andra dan Ita menekuk muka mereka. Kegusaran tergambar jelas, bahkan di dekik pipi Andra yang biasa terlihat ramah.



“Kamu tidak amanah, Dee!”



Duh, kata ajaib itu lagi.



Dee memandang ketiga teman satu kosnya dengan paras merah, seperti maling jemuran yang kepergok. Malu dan tak enak hati.



“Maafkan aku.”



Suasana kaku muncul. Dee tak sanggup berkata apa-apa lagi. Percuma berpanjang-panjang membela diri, toh ia memang bersalah.



Empat orang gadis di dalam kamar termangu.



Bingkisan coklat dan amplop berisi surat tergeletak telentang. Beberapa amplop lagi barusan meluncur dari dalam bingkisan yang sobek. Dee memandangnya dengan perasaan ingin tahu yang lebih besar. Lelaki dan perempuan tanpa nama, kini memetakan sederet tanda tanya di kepalanya.



“Maafkan aku,” Dee memecah keheningan, “tapi tidak mungkin berharap kemajuan hanya dengan menunggu. Sudah tiga hari lebih.”



Dee mulai mendapatkan dukungan. Anik tampak bereaksi. Gadis bertubuh mungil itu manggut-manggut beberapa kali. Sementara Ita dan Andra tampak gelisah. Dee tertawa dalam hati, ia kenal kedua sahabatnya itu. Mereka pasti diam-diam sama penasarannya dengan dirinya. Surat-surat di dalam amplop yang ditulis dengan tinta berbeda itu mustahil dilewatkan begitu saja.



“Surat itu indah, kalian harus membacanya.” Dee kembali memancing.



Andra bangkit, berjalan mondar-mandir. Ita melirik surat yang bagian pinggirnya sudah disobek. Dee sungguh menyebalkan!



Andra menarik nafas panjang. Lucu memang. Bingkisan itu bukan milik mereka. Aneh, bagaimana rasa penasaran mereka terus berkembang seperti balon gas yang diisi udara.



“Masalahnya, kita nggak berhak, Dee. Aku bukannya nggak penasaran. Surat ini, kalau benar indah seperti katamu, hanya milik satu orang. Membacanya lebih dulu akan mengurangi rasa hormat kita terhadap pemilik dan pembuatnya.”



Gagal lagi.



Dee memejamkan matanya. Terbayang sosok lelaki tanpa nama yang menanti di dekat jendela, berharap balasan atas surat yang dikirim. Terlukis seorang perempuan tanpa nama, bertopang dagu, mendekap rindu.



Dee tak sabar!



Tapi ia tak bisa bergerak. Andra, Ita, dan Anik menatapnya dengan mata menukik.



Sebuah bingkisan berwarna coklat dan beberapa pucuk surat. Dee menatapnya tak berkedip.



***



Jakarta, tahun kedelapan



Siapa yang bisa memilih cinta, siapa yang bisa memutuskan kapan cinta harus hadir dan kepada siapa cinta harus tumbuh? Tak ada!



Sebab cinta adalah anugrah. Rahasia-Nya yang unik dan barangkali tak selalu bisa dijelaskan.



Aku mencintaimu, perempuan. Tanpa keraguan. Dan, dengan keyakinan penuh, aku menjatuhkan pilihan.



Dan aku bukan lelaki yang gampang menentukan pilihan atau mengubah pilihan yang telah dibuat. Aku adalah lelaki yang memilih dan sekaligus menerima risiko atas pilihan yang kubuat. Tak ada kata mundur.



Mereka bilang mustahil. Barangkali ada benarnya.



Tapi bukankah Tuhan adalah tempat bagi semua kemustahilan? Itulah kenapa, dalam iman yang tak seberapa selama delapan tahun ini, telah kusandarkan jawaban doa pada-Nya. Cita-cita untuk bisa menjadi tua bersamamu.



Adapun penantian panjang yang kulalui biarlah menjadi bagian sejarah betapapun sakit dan membuatku tersiksa. Memandangmu dalam realita memang perih. Luka di atas luka tersiram cuka.



Untunglah,

Pada malam-malam, engkau milikku.

Meski dalam mimpi yang kata orang semu.



DEE termangu. Andra dan Ita menahan nafas, sementara Anik mengusap airmata.



Tidak penting lagi diceritakan bagaimana akhirnya mereka berempat bisa mendapatkan kata sepakat untuk sama-sama membaca surat itu. Jeleknya lagi dalam alunan ‘Knife’, lagu 80-an yang memerihkan hati.



“Aku penasaran,” Dee tiba-tiba angkat bicara, “sebetulnya apa sih yang terjadi? Kenapa mereka tidak bisa bersatu?” ujar Dee lagi dengan pertanyaan yang sedikit norak dan rada-rada sinetron, tapi sepertinya yang lain tak melihat itu. Mungkin disergap haru.



“Mungkin perempuan itu tidak mencintai dia, Dee,” Ita menjawab.



“Terus?”



“Tapi lelaki itu sudah memilih dan dia terus menunggu sampai si perempuan, suatu hari, mencintainya.”



Anik menggelengkan kepala,



“Mungkin lelaki itu mencintai perempuan yang sudah menikah, makanya jadi mustahil.”



Bodoh! Desis Dee dalam hati. Mengapa membiarkan cinta yang begitu menguras kesedihan tumbuh begitu dalam? Dipertahankan lagi! Tapi cinta memang tak bisa memilih. Dan ternyata itu bukan sekadar judul sinetron atau kalimat-kalimat klise yang bisa ditemukan di buku-buku picisan.



“Aku nggak ngerti, kenapa surat-surat itu tidak pernah diposkan sebelumnya? Begitu banyak berlembar-lembar.”



“Lihat nih,” Andra yang sejak tadi tak banyak bersuara, akhirnya buka mulut, “di surat ini ditulis bahwa sebagian surat yang lain telah rusak dan tak bisa lagi dibaca karena tertelan banjir.”



Lucu juga. Tapi Dee merasa keterlaluan kalau sampai tertawa. Biar bagaimanapun banjir kan tragedi.



Mereka berempat seperti lupa waktu. Sejak tadi masing-masing memilah-milah surat dan membaca sendiri-sendiri. Ada seuatu pada kalimat-kalimat si lelaki yang membuat keempat mahasiswi itu terhipnotis untuk terus mengikuti kisah si lelaki dan perempuan yang sampai sekarang masih tanpa nama.



***



Jakarta, tahun kesebelas



Aku melihatmu hari ini. Indah seperti biasa. Kau mengenakan baju rok n blus bermotif pink dan biru. Dua warna yang menjadi favoritmu.



Sebelas tahun berlalu, perempuan. Kau tetap satu-satunya perempuan yang membuatku sabar dan rajin berdoa.



Waktu memang telah berlalu sangat cepat tanpa bisa dicegah. Harus kuakui itu sama sekali tidak mengurangi keindahan perempuanku. Satu wajah daun sirih yang hitam manis, tawa cerahmu, dan sorot mata keibuan.



Ketika di tempat-tempat lain ketulusan telah menguap dan sulit ditemukan, aku pun datang kepadamu. Sebab pada wajah sederhana namun indah milikmu, kunikmati ketulusan melimpah.



Maka dalam diam harapan kujahit. Suatu hari aku akan di sisimu, saat matahari terbit.



Anik kembali menghapus airmatanya. Andra tampak masih serius dengan sebuah surat di tangannya. Mata sipit memanjang gadis itu menyusuri kalimat demi kalimat. Di sampingnya Ita mengikuti.



***



Jakarta, tahun kelimabelas



Perempuan,



Semoga kau bisa melihat perubahan yang telah kubuat dalam hidup.



Beberapa cerpen telah kutulis, sebagian ada yang telah dibukukan. Terima kasih telah menjadi sumber abadi inspirasiku. Semoga kau tidak keberatan. Selalu kutulis inisial namamu di setiap tulisan. Dengan cara itu aku berusaha terus bersamamu, menjaga cita-cita. Juga kesetiaan.



Aku tidak menyalahkan jika tak ada yang percaya bagaimana aku sebagai lelaki yang memiliki kebutuhan bisa tetap sendiri dan tidak tergoda macam-macam.



Kesalahan mereka adalah mengira aku sendiri. Mereka tidak memahami wajahmu yang menyapaku setiap pagi di komputerku. Mereka tidak melihat fotomu yang terselip di dompetku, meski lusuh dan berukuran sangat kecil (Maafkan aku mengambilnya tanpa meminta. Tapi foto itu telah memberiku banyak energi). Mereka juga tidak tahu sosokmu yang terlukis di dalam hati dan tak pernah pudar, meski belasan tahun berlalu.



Dari jauh kulihat engkau bahagia dengan kehitupanmu. Itu membuatku senang, meski di satu sisi menorehkan luka.



Bukankah cinta harus bahagia atas kebahagiaan yang dicintai, dan tidak membiarkan dirusak ego semata?



Perempuanku,



Kau tidak tahu betapa sulitnya untuk tetap dalam ketulusan. Untuk tidak mengirimkan surat-surat ini padamu sampai waktunya tiba. Untuk menyimpan cinta dalam diam. Dan melewati hari dengan hati teriris-iris oleh rindu, cinta, cemburu.



Pernah aku menangis dan ingin menyerah atas cinta yang Dia pilihkan untukku. Tapi perempuanku juga keajaiban yang dikirimkan Tuhan. Untuk anugrah sebesaritu aku hanya perlu bersabar



Dee meletakkan surat yang membuat dadanya sesak. Berfikir, perempuan itu sungguh beruntung karena mendapatkan cinta begitu besar.



“Bingkisan itu isinya kira-kira apa ya? Gimana kalau kita buka juga?”



Kalimat sekonyong-konyong Dee membuat mata Andra, Ita, dan Anik melotot. Di dalam kertas coklat itu memang terdapat sebuah bungkusan lain yang terbalut kertas koran.



“Baca surat aja udah salah, Dee! Masa kita mau buka bingkisan itu juga.”



“Aku penasaran.”



“Lalu penasaran itu memberimu hak untuk melanggar privacy orang?”



Dee kena batunya. Andra tersenyum puas. Ita dan Anik kembali asyik membaca surat-surat. Belum ada kemajuan. Mereka tak menemukan nama atau petunjuk lain yang lebih spesifik. Padahal setelah membaca surat-surat itu keinginan keempat gadis itu menjadi lebih besar untuk menyampaikan bingkisan dan surat-surat tersebut kepada yang berhak.



Dee memilih sebuah surat, lalu memutuskan membacanya keras-keras.



“Ini surat terbaru dan terpanjang…”



Dee mulai membaca dengan perlahan.



***



Jakarta, tahun kedelapanbelas



Cinta,



Aku harap surat ini sampai padamu. Sekaligus kukirimkan surat-surat sebelumnya yang tak pernah kukirim.



Hanya dua alasan yang membuatku mengirimkan surat ini, beserta sebuah bingkisan yang telah kusiapkan sejak delapan tahun lalu dan selalu kusimpan dengan baik.



Sejak pertama aku mengenalmu, telah kutekadkan untuk menyerahkan semua ungkapan perasaan dan bukti kesungguhanku padamu, jika masanya tiba. Jika Allah memberi pertanda dan membuang satu kemustahilan sehingga aku bisa bersamamu. Kedua, jika aku merasa waktuku akan tiba tak lama lagi.



Tiga tahun ini kesehatanku memang kurang baik. Satu-satunya yang kusesali adalah itu membuatku tak bisa lagi mengejar wajahmu, dan menikmati keindahan dan ketulusan. Hal yang dulu selalu kulakukan, memandangmu dari jauh. Dari depan rumah di mana daun-daun nusaindah terserak. Melihatmu berbicara dan tertawa membuatku merasa hidup.



Barangkali memang harus begini ketentuan Allah. Bahwa selamanya aku hanya bisa memilikimu dalam angan, harapan, dan impian. Tidak lebih.



Tapi, perempuan,



Tak pernah kusesali pilihan yang kubuat. Sebab, bisa memiliki harapan untuk bersamamu lebih dari cukup bagiku. Sebab, seperti yang pernah kukatakan, sebelumnya aku tak pernah punya cita-cita. Dan perempuanku memberiku cita-cita itu.



Aku mencintaimu. Teramat sangat, pada batas terdalam cinta yang mungkin dirasakan seseorang. Dan telah pula kubuktikan semampuku.



Delapanbelas tahun meneropong kebahagiaanmu. Melihat anak-anakmu tumbuh besar, memberiku rasa aman. Sebab, kini aku tahu, sekalipun aku tak ada, mereka akan menjadi perisai dan pelindung yang baik bagimu.



Bingkisan ini harus kusampaikan kepadamu sebagai bagian dari harapan indah yang kubangun.



ENTAH tangan siapa yang memulai menyobek bingkisan dengan sampul kertas koran itu. Di dalamnya tampak sebuah kertas kado dengan bunga-bunga kecil warna pink dan biru.



Semua terpana. Dee menunggu persetujuan Andra, Ita, dan Anik sebelum menyobek kertas kado dan terperangah melihat isinya. Di dalamnya terdapat kotak berisi mukena dan sarung merah jambu berenda, satu Al Quran dan sejumlah uang dalam jumlah yang ganjil. Juga sebuah cincin bermata satu dalam wadah hati berwarna biru.



Dee merasa matanya berair. Anik menghapus airmata yang mengalir deras. Sementara, Ita dan Andra tak urung menitikkan butiran kristal serupa.



Di dekat mereka, surat-surat berbeda tahun tergeletak berantakan di lantai. Sebagian hurufnya ada yang pudar dan tak bisa dibaca, sebagian lagi tertimpa airmata baru yang menetes dari keempat gadis yang meratapi kisah cinta yang lara dari lelaki tanpa nama untuk perempuan tanpa nama.



Bingkisan ini harus kusampaikan kepadamu sebagai bagian dari harapan indah yang kubangun. Dulu aku selalu membayangkan memberikannya langsung kepadamu, sekaligus bersimpuh di lutut dan mengucapkan kata-kata lamaran yang layak dikenang dalam sisa hidup. Melamarmu dalam suasana suci, ketika mencintaiku tidak lagi menjadi halangan bagimu.



Delapanbelas tahun mencintaimu dalam diam. Sebentar lagi mungkin habis waktuku. Tapi tak pernah kusesali hari ketika aku melihatmu di teras masjid.



Terimakasih Tuhan atas cinta sekali yang Kau beri.

Cerpen Karya Asma Nadia - Menanti Bangau Lewat

Teng !…jam dinding berdentang satu kali. Malam semakin larut, tapi Anis masih duduk di ruang tengah. Sejak tadi matanya sulit terpejam. Baru beberapa jam yang lalu Ibu Mas Iqbal, suaminya, menelepon, "Nis, Alhamdulillah, barusan ini keponakanmu bertambah lagi..." suara ibu terdengar sumringah di ujung sana.

"Alhamdulillah…, laki-laki atau perempuan Bu ?" Anis tergagap, kaget dan senang. Sudah seminggu ini keluarga besar Mas Iqbal memang sedang berdebar-debar menanti berita Dini, adik suaminya, yang akan melahirkan.

"Laki-laki, cakep lho Nis, mirip Mas mu waktu bayi…" Ibu tertawa bahagia. Dini memang adik yang termirip wajahnya dengan Mas Iqbal.

"Selamat ya Bu nambah cucu lagi, salam buat Dini, insya Allah besok pulang kerja Anis dan Mas Iqbal akan jenguk ke rumah sakit" janji Anis sebelum menutup pembicaraan dengan Ibu yang sedang menunggu Dini di rumah sakit.

Setelah menutup telpon Anis termenung sesaat. Ia jadi teringat usia pernikahannya yang telah memasuki tahun ke lima, tapi belum juga ada tangis si kecil menghiasi rumah mereka. Meskipun demikian ia tetap ikut merasa sangat bahagia mendengar berita kelahiran anak kedua Dini di usia pernikahan mereka yang baru tiga tahun.

"Koq melamun !…" Mas Iqbal yang baru keluar dari kamar mandi mengagetkannya. Ia memang pulang agak malam hari ini, ada rapat di kantor katanya. Air hangat untuk mandinya sempat Anis panaskan dua kali tadi.

"Mas, ibu tadi mengabari Dini sudah melahirkan, bayinya laki-laki" cerita Anis.

"Alhamdulillah...Dila sudah punya adik sekarang" senyum Mas Iqbal sambil mengeringkan rambutnya, tapi entah mengapa Anis menangkap ada sedikit nada getir dalam suaranya. Anis menepis perasaannya sambil segera menata meja menyiapkan makan malam.

Selepas Isya bersama, Mas Iqbal segera terlelap, seharian ini ia memang lelah sekali. Anis juga sebenarnya agak lelah hari ini. Ia memang beruntung, selepas kuliah dan merasa tidak nyaman bekerja di kantor, Anis memutuskan untuk membuat usaha sendiri saja. Dibantu temannya seorang notaris, akhirnya Anis mendirikan perusahaan kecil-kecilan yang bergerak di bidang design interior. Anis memang berlatar pendidikan bidang tersebut, ditambah lagi ia punya bakat seni untuk merancang sesuatu menjadi indah dan menarik. Bakat yang selalu tak lupa disyukurinya. Keluarga dan teman-teman banyak yang mendukungnya, akhirnya sekarang ia sudah memiliki kantor mungil sendiri tidak jauh dari rumahnya.

Dan, seiring dengan kemajuan dan kepercayaan yang mereka peroleh, perusahaannya sedikit demi sedikit mulai dikenal dan dipercaya masyarakat. Tapi Anis merasa itu tidak terlalu melelahkannya, semua dilakukan semampunya saja, sama sekali tidak memaksakan diri, malah menyalurkan hobi dan bakatnya merancang dan mendesign sesuatu sekaligus mengisi waktu luangnya. Beberapa karyawan cekatan sigap membantunya. Malah sekarang sudah ada beberapa designer interior lain yang bergabung di perusahaan mungilnya. Itu sebabnya sesekali saja Anis agak sibuk mengatur ketika ada pesanan mendesign yang datang, selebihnya teman-teman yang mengerjakan. Waktu Anis terbanyak tetap buat keluarga, mengurus rumah atau masak buat Mas Iqbal meski ada Siti yang membantunya di rumah, menurutnya itu tetap pekerjaan nomor satu. Anis juga bisa tetap rutin mengaji mengisi ruhaniahnya. Namun karena kegiatannya itu, biasanya ia tidur cepat juga, tapi malam ini rasa kantuknya seperti hilang begitu saja. Berita dari ibu tadi membuat Anis teringat lagi. Teringat akan kerinduannya menimang si kecil, buah hatinya sendiri.

Lima tahun pernikahan adalah bukan waktu yang sebentar. Awalnya Anis biasa saja ketika enam bulan pertama ia tak kunjung hamil juga, ia malah merasa punya waktu lebih banyak untuk suaminya dan merintis kariernya. Seiring dengan berjalannya waktu dan tak hentinya orang bertanya, dari mulai keluarga sampai teman-temannya, tentang kapan mereka menimang bayi, atau kenapa belum hamil juga, Anis mulai khawatir. Fitrahnya sebagai wanita juga mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada dirinya, atau kapan ia hamil seperti juga pasangan-pasangan lainnya… Atas saran dari banyak orang Anis mencoba konsultasi ke dokter kandungan. Seorang dokter wanita dipilihnya. Risih juga ketika menunggu giliran di ruang tunggu klinik, pasien di sekitarnya datang dengan perut membuncit dan obrolan ringan seputar kehamilan mereka. Atau ketika salah seorang diantara mereka bertanya sudah berapa bulan kehamilannya.

"Saya tidak sedang hamil, hanya ingin konsultasi saja…" senyum Anis sabar meski dadanya berdebar, sementara Mas Iqbal semakin pura-pura asyik dengan korannya. Anis bernafas lega ketika dokter menyatakan ia sehat-sehat saja. Hindari stress dan lelah, hanya itu nasehatnya.

Setahun berlalu. Ditengah kebahagiaan rumah tangganya ada cemas yang kian mengganggu Anis. Kerinduan menimang bayi semakin menghantuinya. Sering Anis gemas melihat tingkah polah anak-anak kecil disekitarnya, dan semakin bertanya-tanya apa yang terjadi dengan dirinya. Setelah itu mulailah usaha Anis dan suaminya lebih gencar dan serius mengupayakan kehamilan. Satu demi satu saran yang diberikan orang lain mereka lakukan, sejauh itu baik dan tidak melanggar syariat Islam. Beberapa dokter wanita juga kadang mereka datangi bersama, meski lagi dan lagi sama saja hasilnya. Sementara hari demi hari, tahun demi tahun terus berlalu.

Kadang Anis menangis ketika semakin gencar pertanyaan ditujukan padanya atau karena cemas yang kerap mengusik tidurnya. Mas Iqbal selalu sabar menghiburnya "Anis...apa yang harus disedihkan, dengan atau tanpa anak rumah tangga kita akan berjalan seperti biasa. Aku sudah sangat bahagia dengan apa yang ada sekarang. Insya Allah tidak akan ada yang berubah dalam rumah tangga kita…" goda Mas Iqbal suatu ketika seperti bisa membaca jalan pikirannya. Suaminya memang tahu kapan Anis sedang mendalam sedihnya dan harus dihibur agar tidak semakin larut dalam kesedihannya. Di saat-saat seperti itu memang cuma suaminya yang paling bisa menghiburnya, tentu saja disamping do'a dan berserah dirinya pada Allah. Kadang Anis heran kenapa Mas Iqbal bisa begitu sabar dan tenang, seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi. Dia selalu ceria dan optimis seperti biasa. Apakah memang pria tidak terlalu memasukkan unsur perasaannya atau mereka hanya pintar menyembunyikan perasaan saja? Anis tidak tahu, yang pasti sikap Mas Iqbal banyak membantu melewati masa-masa sulitnya.

Sebenarnya Anis juga bukan selalu berada dalam kondisi sedih seperti itu. Sesekali saja ia agak terhanyut oleh perasaannya, biasanya karena ada faktor penyulutnya, yang mengingatkan ia akan mimpinya yang belum terwujud itu. Selebihnya Anis bahagia saja, bahkan banyak aktivitas atau prestasi yang diraihnya. Buatnya tidak ada waktu yang disia-siakan. Selagi sempat, semua peluang dan kegiatan positif dilakukannya. Kadang-kadang beberapa teman menyatakan kecemburuannya terhadap Anis yang bisa melakukan banyak hal tanpa harus disibuki oleh rengekan si kecil. Anis tersenyum saja.

Anis juga tidak pernah menyalahkan teman-temannya kalau ketika sesekali bertemu obrolan banyak diisi tentang anak dan seputarnya. Buatnya itu hal biasa, usia mereka memang usia produktif. Jadi wajar saja kalau pembicaraan biasanya seputar pernikahan, kehamilan, atau perkembangan anak-anak mereka yang memang semakin lucu dan menakjubkan, atau cerita lain seputar itu. Biar bagaimanapun Anis menyadari menjadi ibu adalah proses yang tidak mudah dan perlu belajar atau bertukar pengalaman dengan yang lain. Tapi kadang-kadang, sesekali ketika Anis sedang sedih, rasanya ia tidak mau mendengar itu dulu. Anis senang juga jika ada yang berusaha menjaga perasaannya diwaktu-waktu tertentu, dengan tidak terlalu banyak bercerita tentang hal tersebut, bertanya, atau malah menyemangati dengan do'a dan dukungan agar sabar dan yakin akan datangnya si kecil menyemarakkan rumah tangganya.

Anis tersadar dari lamunannya. Diminumnya segelas air dingin dari lemari es. Sejuk sekali. Meskipun malam tapi udara terasa pengap. Ditambah lagi berwudhu ditengah malam, melunturkan sebagian besar kemelut dalam dadanya. Setelah membangunkan suaminya, Anis shalat malam berdua. Di akhir shalat air mata Anis membasahi sajadahnya. "Rabbi..., ampunilah dosa-dosa kami, jangan beri kami cobaan yang tidak kuat kami menanggungnya. Beri kami kekuatan dalam menjalani semuanya. Perkenankan kami memiliki buah hati pewaris kami, penerus kami dalam menegakkan Dien-Mu. Hanya ridha-Mu yang kami cari. Sungguh tidak ada yang lain lagi...". Selesai shalat Anis terlelap. Dalam mimpinya ia bermain bersama beberapa gadis kecil. Senang sekali.

*****

Suatu siang di kantornya, Anis sedang merancang sebuah ruang pameran. Ada festival Islam yang akan digelar, mungkin karena tidak banyak designer interior berjilbab rapi seperti Anis, ia dipercaya merancangnya. Ketika sedang mencorat-coret gambar, Fitri mengejutkannya, "Mbak Anis, ada tamu yang mau bertemu".

"Dari mana Fit ?" tanya Anis.

"Katanya dari Yayasan Amanah, mbak, mau menawarkan kerja sama".

"Iya deh, saya kedepan sepuluh menit lagi" jawab Anis.

Setelah bincang-bincang dengan tamunya akhirnya Anis menyepakati kerja sama menyantuni beberapa anak-anak yatim yang diasuh yayasan tersebut. Anis memang selalu menyisihkan rezkinya untuk mereka yang membutuhkan. Perusahaan mungil yang dikelolanya selalu berusaha menjalankan syariat Islam.

Sejak itu Anis punya kegiatan baru, menyantuni dan mengasuh beberapa anak yatim bersama yayasan tersebut. Tidak banyak kegiatan sebenarnya, hanya laba perusahaan kecilnya yang tidak seberapa disisihkan sebagian untuk disalurkan sebagai beasiswa untuk beberapa anak-anak tersebut. Itupun setelah dimusyawarahkan dengan semua teman-teman dan disetujui bersama. Tapi banyak hikmah yang Anis dapatkan. Sesekali Anis jadi bertemu dan bersahabat dengan mereka. Anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya sehingga tidak seberuntung yang lain, yang mendapat curahan perhatian dan kasih sayang berlimpah dari orang tua. Mereka memang kurang beruntung, tapi kesabaran dan ketegaran mereka membuat Anis malu menyadari dirinya yang rapuh, mudah mengeluh dan sedih. Anis jadi menyadari betapa sebenarnya karunia yang diberikan Allah padanya begitu banyak dan berlimpah. Kalaupun ada satu atau dua hal yang luput, itu tidak seberapa dibandingkan dengan yang ia telah dapatkan. Anis jadi menata dirinya untuk lebih sabar dan banyak bersyukur. Dengan banyak bersyukur tentu Ia akan lebih banyak memberikan lagi nikmat-Nya.

*****

"Bu Anis, kuenya enak sekali..." puji Ina tulus. Mata polosnya bersinar senang. Ia memang anak yang manis, kelas 5 SD dan selalu ranking satu di kelasnya, ibunya hanya penjual gado-gado dengan tiga orang anak, sementara ayahnya sudah meninggal sejak Ina kelas satu. Minggu pagi cerah ini Anis memang mengundang beberapa anak asuhnya ke rumah beserta beberapa orang pengurus yayasan. Sejak kemarin ia dan Mas Iqbal pontang-panting menyiapkan semuanya. Sebenarnya bisa saja Anis pesan makanan, tapi entah kenapa ia ingin menyiapkan sendiri, untungnya Mas Iqbal setuju dan membantunya penuh.

"Bu Anis, sup nya Farouk tumpah...." jerit Atikah nyaring.

Anis sibuk melayani mereka, Mas Iqbal juga tak kalah repot. Sekarang Anis memang semakin dekat dengan mereka, ia berusaha memberikan kasih sayang dan perhatian atau bimbingan semampunya. Mereka banyak membuka mata dan hatinya. Anak-anak malang yang membutuhkan kasih sayang dan bimbingan.

Selesai acara Anis kecapekan luar biasa, anak-anak itu terkadang manja dan mencari perhatiannya saja, tapi Anis senang. Tamu-tamu kecil itu menyemarakkan rumahnya.

Keesokan paginya Anis bangun agak siang. Selesai shalat subuh dan menyiapkan keperluan Mas Iqbal, ia tertidur lagi. Suaminya berangkat kerja tanpa pamit, kasihan pada Anis yang sepertinya masih kelelahan. Anis sendiri tidak pergi kerja hari ini, ia sudah izin sebelumnya.

Jam setengah delapan pagi Anis terbangun oleh dering telepon dari ibunya.

"Anis, selamat ulang tahun ya…semoga semakin bertambah keimanannya, sehat, bahagia dan cepat mendapatkan momongan", ujar ibu mendo'akan.

"Terima kasih ya, Bu" Anis tersadar bahwa hari ini usianya bertambah lagi. Sebenarnya ia tak pernah menganggap istimewa, tapi kalau ada yang ingat ya senang juga.

"Masih sering sedih nggak?..." Ibu menggodanya. Selain Mas Iqbal memang ibu yang paling memahami perasaannya dan tentu saja yang paling sering menghibur dan mendo'akannya.

"Ingat lho Nis, apa saja yang kita dapatkan itu sudah hasil seleksi dari sana dan itu adalah yang terbaik untuk kita. Kita harus ikhlas, sabar, dan senang menerimanya. Istri-istri Rasululloh pun ada yang tidak diberi momongan dan itu bukan dosa. Yang penting kita tak putus usaha dan berdo'a, bagaimana hasilnya biar Allah saja yang menentukan", ibu menasehati.

"Iya Bu" jawab Anis hampir tak terdengar. Ia terharu ibu selalu memperhatikan dan menghiburnya.

Setelah menutup telpon dari ibu Anis dikejutkan lagi oleh selembar surat di meja, yang ini ucapan selamat dari Mas Iqbal rupanya. Anis tersenyum membacanya tapi matanya akhirnya basah juga. Suaminya memang selalu sabar dan penuh perhatian, tak pernah sekalipun ia menyakiti hati Anis, kalaupun ada perbedaan pendapat selalu ia selesaikan dengan bijak. Tiba-tiba Anis merasakan lagi betapa besar nikmat yang telah dilimpahkan kepadanya. Rasanya tidak ada lagi alasan untuk bersedih, apalagi putus asa. Kalau memang sudah tiba waktunya dan baik untuknya, tentu harapan dan do'anya akan dikabulkan. Ia yakin tidak akan ada do'a dan usaha yang sia-sia. Hanya Allah yang tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya, tidak mungkin Ia mendzholimi hamba-Nya dan Ia yang akan mengabulkan do'a. Insya Allah mungkin esok hari. Ya, siapa tahu… (er)

"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui." (Al Ankabuut, 64)

Cerpen Islami Karya Isbedy Stiawan ZS - Pagi Bening


Cerpen Islami - Pagi Bening
MINGGU tersenyum. Pagi yang bening. Langit menebarkan jubah putih. Seperti gigi-gigi macan yang mati tertumbak. Angin lelap. Debu melesap. Terik. Jemuran sekejap kering. Bau asap menyergap.

Kau termangu di depan layar kotak kecil itu. Ah, apa yang kausaksikan dari dunia-kecil dan kedil itu? Tangan-tangan memanjang. Merengkuh dua atau tiga benua. Disatukan ke dalam pelukan. Muntah. Mesiu menebar. O, ada tangis. Luka. Anak-anak menatap masalalu-masadepan. Kosong. Di pecahan tembok. Mengintip moncong senapan. Menguping deru tank. Mengangguk-angguk: â€Å“satu lagi, seratus lagi. Korban jatuh

Penjagal. Algojo bertangan mulus. Putih. Hidung mancung. Tanpan. Tangannya menjangkau. Menjabat seluruh dunia. Menabur pundi-pundi uang. Dermawan kau Ah, tidak. Kau pemangsa. Nyawa melayang. Melesat bagai meteor. Tubuh-tubuh kemudian jadi kaku.

Sudah berapa kematian di sini? Aroma ganja menebar. Asap mengepul, kita hirup bersama-sama. Aku, kau, kalian, mereka, dan kita semua mabuk. Ply Bawa kemari rencong-rencong itu. Akan kukibarkan sebagai bendera. Akan kutancapkan ke perut-perut para serdadu.

Ah, tidak. Rencong akan selalu kalah cepat dengan senapan. Mereka para serdadu itu tak berbilang jumlahnya. Sedangkan kami? Berapalah orang, berapalah kampung? Sekali dibombardir, habislah kami. Tetapi, kenapa kami tak pernah habis-habis?

â€Å“Tuhan selalu bersama kami. Melindungi anak-anak kami, perempuan-perempuan kami, nyawa kami, kampung kami, tanah-kelahiran kami. Ganja-ganja kami, kebun-kebun kami. Rencong kami selalu bergairah untuk melawan!

Dusta! Manalah mungkin kalian bisa melawan. Lihatlah para serdadu, tak berbilang jumlahnya, seia dan setia setiap saat untuk memuntahkan peluru-pelurunya. Cuma belum waktunya kalian dihabisi. Masih perlu strategi, mengulur-ulur waktu, sampai kalian terlelap dalam kegembiraan. Setelah itu habislah seluruh kalian, tak bersisa. Juga cinta kalian pada tanah dan air kelahiran ini.

â€Å“Bukankah hidup hanya menunda kematian1? Lebih tak berharga jika menyelesaikan hidup ini dengan sia-sia, tiada berharga. Maka itu, kami mesti berjuang untuk mempertahankan tanah kelahiran ini. Betapa pun kami mesti berkalang tanah. Sudah habis kesabaran kami ketika kalian datang kemari lalu membawa seluruh kekayaan kami. Yang tinggal di sini untuk kami cuma ampas, taik minyak, ladang-ladang yang kerontang
Adakah itu keadilan? Kami yang telah berabad-abad menjaga, menyuburkan, dan menyulingnya. Tetapi, hasilnya kalian bawa. Kalian yang bergelimang harta, kami yang berkalang luka.

Ke mana dan kepada siapa kami mengadu? Sedang angin tak pernah mengirim kabar nestapa kami. Ke mana dan kepada siapa kami harus melabuhkan duka? Sedang pelabuhan tak membukakan pintunya? Ke mana dan kepada siapa kami akan menurunkan sauh? Sedang pantai tiada lagi.

Ya!
Siapa yang pecahkan vas bunga
di pekarangan rumah kita
Padahal angin tidak menggerakkan daun-daunnya2

*
MINGGU tersenyum. Pagi yang bening. Langit menebarkan jubah putih. Seperti gigi-gigi macan yang mati tertumbak. Angin lelap. Debu melesap. Terik. Jemuran sekejap kering. Bau asap menyergap.

Kami bayangkan, minggu-minggu di sini akan selalu tersenyum. Tertawa bagi kebahagiaan kami, bagi kedamaian kami, bagi kemerdekaan kami. Tetapi, yang terjadi, ketakutan demi ketakutan menerpa kami. Mau seperti selalu mengintip sela kami. Selangkangan kami tak henti basah. Airmata kami tak habis-habis mengalir.

Suara dentuman itu. Suara peringatan itu. Suara ancaman itu. O! Telah membuat kami semakin ketakutan. Oh, tidak! Kami tak pernah takut, bahkan kepada singa yang buas sekali pun. Ketakutan kami hanya kepada Tuhan, pada amarah agama kami, jika kami mengabaikan anjuran jihad-Nya.

Aku bayangkan tak lagi kudengar
Derap sepatu juga aum serdadu

Tetapi, mungkinkah itu? Para serdadu itu kini sudah membanjiri kota-kota kami, kampung-kampung kami, dusun-dusun kami, rumah-rumah penduduk kami. Mereka tak saja mengancam, menembaki, juga menggagahi perempuan-perempuan kami.

Alangkah nistanya jika kami membiarkan kebiadaban itu. Alangkah terkutuknya sepanjang masa jika kami tak melawan. Maka kami angkat senjata pula. Kami acung-acungkan rencong-rencong kami dan menusukkan ke perut mereka.

Perlawanan tak seimbang memang. Tetapi, apakah kami rela teraniaya selamanya? Mana yang lebih berharga menjadi orang terjajah sepanjang masa atau mati dalam arena perlawanan?

Hidup hanya sekali. Darah akan tetap berwarna merah meski kami kalah. Maka berjihad menjadi ukuran perlawanan orang-orang teraniaya seperti kami. Apa kami akan selalu disetir, dikomandoi, diintimidasi oleh satu kekuatan yang zalim?

Teringat kami pada perjuangan sang Muhammad. Ia begitu gigih, tak pernah mati strategi dan semangat menegakkan perdamaian. Apa kami harus lupa pada ghirah suci seperti itu? Tak. Tiada akan pernah.

Ini tanah air kami. Ini kampung kelahiran kami. Tiada yang bisa mengusir kami dari tanah tumpah darah kelahiran kami. Sungai itu telah menampung air tuba kami. Tanah ini yang telah menanam ari-ari kami. Ranjang ini yang membiarkan basah oleh darah kelahiran kami. Ibu kami yang bersakit-sakit menjaga kelahiran kami.

Wahai saudara kami. Kita bersaudara. Maka turunkan senjatamu. Kunci pelatuk senapanmu. Beningkan airmuka amarahmu. Mari kita berpelukan. Tetapi, biarkan kami menjaga tanah kelahiran kami. Pulanglah saudaraku ke tanah kelahiranmu, ke barak-barakmu, yakinlah kami bisa mengolah segala yang ada di kampung kami.

Bukankah kau tahu, bumi ini diciptakan bukan untuk menampung pertumpahan darah? Kita ada karena kita dipercaya sebagai khalifah bagi perdamaian semesta, rahmat bagi dunia dan akhirat?� katamu satu malam.

Kami akan bakar pohon-pohon ganja. Kami tanam bom-bom kami di ladang-ladang tak bertuan. Tak akan ia meledakkan kota-kota yang riuh. Hotel-hotel yang gemuruh. Tiada. Sebab jangan kaumengira kami yang meledakkan bom di keramaian itu, di candi-candi itu, di tempat-tempat hiburan itu. Bukan. Kami punya adab yang mesti kami jaga sebagai kehormatan.

Tetapi, selalu saja dan selalu saja, wajah-wajah kami yang tertera di media-media pemberitaan. Dalam sketsa-sketsa: rekayasa orang-orang yang membenci kami.

Dusta apa ini yang tengah kalian sebarkan untuk kami? Fitnah apa yang tengah kalian rancang untuk mengubur karakter kami? Dan, memang, sebagaimana diingatkan Tuhan kami bahwa Å“kalian tak akan pernah bosan sampai kami mengikuti milah kalian. Demikianlah, kalian coba berbagai cara untuk menghancurkan kami. Kemudian kami kalah, kami mengikuti kehendak kalian.

Tetapi Cahaya kami tak akan pernah redup. Bulan-bintang akan selalu menebarkan sinar-Nya setiap malam. Matahari akan selalu terbit dari dalam jiwa kami, dan akan tenggelam di batin kalian.

Maka, inilah perjuangan kami. Perlawanan kami. Pengorbanan kami. Jihad kami. Betapa pun di antara kami mesti ada yang syahid sebagai syuhada. Sebab, kami yakin, seribu kami akan terus berlahiran.

Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan tanah dan langit ini.

Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan tanah dan langit ini.

Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan tanah dan langit ini.

Seperti Muhammad yang menyatukan Timur-Barat-Selatan-Utara. Dari tanah Arab hingga ke Eropa dan Amerika: semesta.

*

JUMAT tersenyum. Padang yang terbentang. Kami tafakurkan jiwa kami, kami zikirkan seluruh hidup-mati kami. Dari sini kami harus memulai menegakkan kembali tiang-tiang keyakinan kami yang nyaris porak oleh dusta dan fitnah kalian.
Cerpen Karya :  Isbedy Stiawan ZS
Judul : Cerpen Islami - Pagi Bening
Kategori : Cerpen Islami

Cerpen Karya Asma Nadia - Mengayam Kesabaran

"Kriiinnnggg!" Jam wekker di samping kepalaku berbunyi nyaring. Reflek kugerakkan tanganku memencet tombolnya. Hmmm, jam 4.45. Kulihat Aa sudah tidak ada di sampingku, aku bergerak menyalakan heater dan bergerak menuju ruang sebelah. Di sana kulihat Aa tertidur dengan pulasnya. Dengan jaket tebal dan sarungnya. Posisinya melingkar membuat tubuh Aa yang jangkung tampak mengecil. Aku tersenyum. Rupanya Aa shalat malam tanpa membangunkan aku.Terlihat terjemahan Al quran yg masih terbuka di samping kepala Aa. Kututup perlahan terjemahan itu. Kuberjongkok di samping tubuh Aa, tersenyum memandangi wajah Aa yang terlihat damai sekali. "A..Aa..!" Kuguncang-guncang bahu Aa pelan. Aa menggeliat sebentar. Tapi seakan tidak peduli malah membalikkan posisi tubuhnya membelakangiku. Kuulang hal yang sama. Aa belum mau bangun juga. Kalau sudah begini, cuma ada satu cara yang ampuh. Usapan air! Aku bergegas menuju dapur dan memutar kran lalu mencuci tanganku. Siraman air dingin membuat sel-sel sarafku bereaksi seketika. Rasa kantuk yang masih tersisa lenyap dibuatnya. Kuusapkan tanganku yang dingin pada wajah Aa. Suamiku terbangun seketika dan menatapku dengan wajah bangun tidurnya yang lucu. "Assalamu'alaikum! Sudah mau jam 5..."kataku memandang Aa sambil menahan tawa. Aa bangkit dari tidurnya. "Hmm..,"gumamnya masih ogah-ogahan. "Dede wudhu dulu..awas jangan ketiduran lagi!"ancamku sambil beranjak ke kamar mandi.

Subuh itu seperti biasa kami selesai shalat berjamaah kami lewati dengan tilawah Al Quran dan doa Matsurat. Dan seperti biasanya tilawah Aa lebih panjang dari pada lama tilawahku. Aku beranjak menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi dan mencuci pakaian. Ketika aku memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci, ku dengar suara Aa. "De..! Sudah nggak papa perutnya..? Katanya mulas habis dari Rumah sakit kemarin.." "Nggak, udah nggak papa, kok, "sahutku.

Kemarin memang hari di mana aku harus pergi ke ahli kandungan untuk memeriksakan diri secara rutin tiap bulan. Sebelum memasukkan alat itu ke dalam tubuhku, dokter wanita yang ramah itu mengingatkanku, bahwa pengobatan seperti ini memang menyakitkan. Jadi aku bisa menolaknya kalau tidak tahan. Tapi kupikir-pikir toh sama saja sakit sekarang atau nanti. Maka kubilang pada dokter tersebut. "iie. Daijoubu desu. Yatte kudasai, onegaishimasu.(tidak apa-apa. Tolong laksanakan saja...)" Dokter Abe tertawa. "Gaman site, ne...(bersabar ya, kalau sakit..)" Dan benar saja. Perutku terasa diperas-peras, kepalaku gelap. Aku hampir terjatuh ketika bangkit dari tempat tidur. "Sebentar akan saya telfonkan taksi untuk mengantar anda pulang ke rumah!" Kata dokter Abe bergegas keluar. Aku berterimakasih padanya sambil menahan rasa mual yang tidak dapat kuceritakan rasanya. 
Sampai di rumah aku tak kuat bangun lagi. Sehabis Ashar aku tak sempat lagi membuat makan malam buat Aa. Ketika Aa pulang, dan mendapatkanku sedang tidur Aa sendiri yang memasak makan malam. Alhamdulillah, Aa memang mengerti keadaanku, walaupun sebenarnya tidak mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Tapi beliau tidak marah karena tidak ditemuinya makan malam di meja makan, malah beliau berinisiatif sendiri untuk memasaknya. Ya Allah terimakasih karena telah Kau berikan seorang suami seperti Aa, kataku bersyuku dalam hati. 
"Hei! Kok, bengong !" Aa mencolek bahuku. Aku terkejut, agak malu tertangkap basah dalam keadaan bengong. "Masak apa, De..? Mi goreng sajalah ya. Kan mi goreng buatan Aa jaminan mutu.." Aa bergerak menuju wastafel dapur dan mulai membuka-buka kulkas. Aku mengangguk saja. Mi goreng adalah masakan kebisaan Aa. Dan harus diakui kadang-kadang rasanya jauh lebih enak dari buatanku. Pagi itu kami sarapan pagi dengan mi goreng dan sup miso ala Aa. Sedap karena Aa menambah rasanya dengan keikhlasan... Dan seperti biasa kami berpisah di dekat stasiun. Aku ke kiri menuju kampusku yang telah berdiri di sana, sedang Aa ke kanan, ke arah stasiun karena Aa harus ke kampus dengan kereta listrik. "Nggak papa, De..? Kuat kuliah..?"tanya Aa lagi sebelum berpisah. "Insya Allah nggak papa...Lagian cuma sebentar hari ini, seminar saja. Kan giliran Dede yang harus presentasi.."jawabku berusaha menghilangkan kekhawatiran Aa. "Yah, sudah kalau nggak papa. Hati-hati, ya..Assalamu'alaikum!" Aku mencium tangan Aa dan membalas salamnya. Kutunggu sampai tubuh jangkung Aa hilang di pintu stasiun.

Aku dan Aa berselisih dua tahun. Kami menikah ketika aku tahun ketiga, dan Aa sedang dalam proses menyelesaikan skripsinya. Kami berada di fakultas yang sama, FMIPA, walau berbeda jurusan. Aku kimia, sedang Aa fisika. Alhamdulillah, Allah menjawab doa-doa kami, dengan memberikan cinta dan kasih sayangNya pada hati-hati kami. Walau kami tidak berpacaran seperti yang biasa dilakukan orang-orang pada umunya, ternyata kami bisa cocok dan saling memahami hingga usia perkawinan kami menjelang tahun ke enam sekarang, tak ada percecokan yang sampai mengguncang bahtera yang kami layari. Kalaupun ada mungkin keinginan kami untuk mempunyai anak.Tidak, itu tak pernah mengguncangkan bahtera. Bahkan boleh dibilang memperkuat ikatan tali hati kami. Ketika setelah dua tahun menikah Allah belum juga mempercayakan amanah itu pada kami, aku sendiri masih tenang-tenang saja. Aku memang tidak mempunyai siklus bulanan yang teratur sebagaimana wanita normal. Tetapi melihat keturunan dari ibu dan bapak, keluargaku termasuk"subur". Demikian pula Aa. Sampai akhir nya Aa pergi belajar ke Jepang ditugaskan lembaga yang selama ini memberi Aa beasiswa, dan aku menyusulnya satu tahun kemudian untuk menemani Aa setelah skripsiku yang sedikit berlarut-larut karena aku harus membagi waktuku sebagai seorang istri dan mahasiswi, selesai disidangkan.

Atas keinginanku yang disetujui oleh Aa, akhirnya kami berdua berkonsultasi pada dokter ahli kandungan yangsekarang ini. Kebetulan dan alhamdulillah sekali beliau perempuan.. Dan setelah diteliti, ternyata benar dugaanku. Aa normal, akulah yang sakit. Sehingga sejak satu setengah tahun lalu aku berobat secara intensif. Walaupun belum tampak hasilnya hingga kini. Namun atas dorongan semangat Aa, aku bisa terus sabar berusaha hingga kini. Dan aku tahu, Aa juga menunjangnya dengan doa-doa di sujudnya yang lama setelah shalat, sebagaimana yang juga aku lakukan. ****

Kesepian menunggu datangnya amanah itu bukannya tak pernah kami rasakan, khususnya aku. Tanpa aku katakan pada Aa apa yang aku rasakan, Aa seakan mengerti. Sehingga ketika hari tahun ajaran baru universitas dimulai, Aa menyarankan agar aku melanjutkan sekolah saja. Di rumah sendiri bukannya tak ada pekerjaan. Pekerjaan menterjemahkan secara bebas artikel-artikel bahasa Inggris dan kukirim ke redaksi-redaksi majalah, adalah pekerjaan yang sudah kumulai sejak aku masuk universitas. Lalu kursus Bahasa Arab gratis dengan beberapa teman, ibu-ibu dari Mesir seminggu sekali. Dan pelajaran bahasa Jepang secara autodidak yang aku lakukan melalui TV dan majalah berbahasa Inggris-Jepang. Belum lagi pekerjaan rumah tangga, yang walaupun sebagian besar serba otomatis tetapi membutuhkan kesabaran untuk melawan kebosanan itu, juga menunggu. Tetapi waktuku yang banyak sendirian di rumah kadang-kadang membuat aku tak kuat melawan sepi. Dan Aa mengerti benar kecenderunganku tersebut.

Dan akhirnya aku memilih masuk fakultas pendidikan, dan mengambil spesialisai psikologi pendidikan. Karena aku melihat Jepang mapan dalam pendidikan dasarnya. Sedari dulu aku tergelitik untuk mengetahui "resep"nya. Tanpa pikir dua kali aku menyambut saran Aa. Dan jadilah setahun yang lalu aku mahasiswi graduate di universitas yang sama dengan tempat Aa sekarang. Walaupun satu universitas tempat kami berjauhan. Dan kami memutuskan untuk pindah ke tempat yang sekarang.

Hari-hari hanya berdua saja dengan Aa dari sisi lain kurasakan juga sebagai anugerah Allah pada kami. Karena belum disibukkan oleh anak, membuat aku lebih punya banyak waktu memperhatikan Aa, berdiskusi banyak hal dengan Aa, dan lain-lain yang kurasakan sangat mendekatkan aku dengan Aa. Jalan-jalan pagi atau sore sepanjang sungai kerap kami lakukan. Dan ketika kami bertemu dengan pasangan suami istri yang berjalan-jalan bersama buah hati mereka, tanpa sadar mata-mata kami memandang pada si kecil yang yang memandangiku dengan lucunya. Dan seperti biasa, kalau tidak aku atau Aa akan berguman. "lucunya.." "A, nanti anak kita lucu atau nggak, ya..?" Atau: "De, mudah-mudahan anak kita juga lucunya kayak gitu.."Yang kuaminkan dalam diam. Dan biasanya kami akan saling memandang dan tersenyum bersama. Walau bagaimanapun kami merindukan kehadiran amanah itu, ya Allah..

Dan tibalah keajaiban itu, tepat empat bulan setelah itu, hawa dingin sisa-sisa musim dingin masih tertinggal. Bulan Februari akhir, beberapa hari sebelum Ramadhan. Aku menemui Dokter Abe seperti biasa. Kali ini sambil membawa buku catatan suhuku yang kuukur setiap hari. Ada debar-debar harap karena kulihat grafik suhu tersebut tidak menurun. Tapi aku tak mau terlalu berharap. Karena takut kecewa yang berlebihan, jika bukan berita baik yang kudapat. Dan dengan perasaan sedikit tak tenang kutunggu hasil pemeriksaan urine. Dan kudengar namaku dipanggil. "Aya-san!" Kudapati dokter Abe dengan ekpresi ramah seperti biasa. "Duduklah,"katanya. Aku duduk dihadapannya sambil harap-harap cemas. Dan.."Omedetou gozaimasu..!(selamat..)" aku mendengar kata-kata itu dengan kelegaan yang luar biasa, tetapi juga diiringi dengan tangis haruku yang naik ke kerongkongan."Positif..,"kata dokter Abe melanjutkan. Alhamdulillah, Alhamdulillahrabbil'alamin..Subhanallah...Ya Allah, Maha Besar Engkau yang telah mengabulkan permintaan dan usaha hamba-hambaNya. Aku bertasbih dan bertahmid dalam hati, air mata bahagia yang kurasakan hangat keluar tanpa mampu kutahan lagi. Dokter Abe memandangku dengan senyumnya, dan aku tahu dimatanya yang tersembunyi oleh kacamata itu ku dapati juga kaca-kaca. "Domou arigatou gozaimasu.."kataku berterimakasih padaNya. Dia menggeleng. "Bukan saya yang membuatnya demikian, tetapi Kamisama(Tuhan) lah yang memberikannya. Bukan begitu Aya-san?" Aku mengangguk. Alhamdulillah, Segala puji bagi Engkau...

Sesampainya di rumah, aku seperti mempunyai tambahan energi baru. Aku masak soto ayam kesukaan Aa, kali ini tanpa pelit dengan daun sereh dan daun jeruk, biar sedikit istimewa. Juga acar, sambel kecap, serta perkedel jagung. Ketika dering telpon berbunyi, aku segera berlari mengangkatnya. Pasti itu Aa. Benar saja...Sehabis menjawab salam Aa, tanpa memberi kesempatan Aa berbicara aku berkata:"A, cepet pulang!..."

Dan hari-hari selanjutnya kurasakan lebih bergairah lagi. Walau janin di perutku baru dua bulan, tapi aku yakin dia sudah merasakan apa yang aku rasakan. Buku-buku tentang pendidikan janin dalam rahim, cara merawat bayi,sampai majalah tentang permasalahan bayi, yang dulu sempat kuletakkan jauh-jauh dari penglijatanku kupindahkan dekat rak buku-buku kuliahku. Uang tabungan yang kusisihkan dari uang belanja kubelikan walkman. Juga tak lupa aku rajin menggaris-garis buku pedoman pendidikan anak dalam Islam dan kuingat-ingat bagian yang pentingnya. Kini hari-hari ku tak pernah kulewatkan tanpa walkman yang memutar ayat-ayat Al-quran. Juga hari-hari di rumah aku lewatkan dengan "mengobrol" dengan janinku. Sampai Aa iri, karena aku bisa merasakan kehadiransi kecil lewat tubuhku, sedang Aa tidak. Alhamdulillah, aku tidak banyak mengidam dan merasakan mual. Padahal aku khawatir juga, karena sampai sekarang aku masih kuliah seperti biasa. Hanya saja waktu membacaku kuhabiskan sebagian besar di rumah, bukan di perpustakaan seperti biasanya. Karena di rumah aku lebih punya waktu dan lebih bebas "bicara" dengan si kecil.

Sampai saat itu...
Kali itu pemeriksaan kandunganku yang keenam. Menurut hitungan dia sudah 10 pekan usianya. Hari itu kuajak Aa juga. Karena kata Dokter Abe kandungan ku mungkin sudah bisa dideteksi oleh USG, maka beliau mengundang Aa juga untuk ikut menyaksikannya. Akan tetapi, takdir Allah menentukan lain... "Aya -san, terakhir memeriksakan kandungan tiga minggu yang lalu, ya..?" Dokter Abe bertanya memastikan setelah selesai memeriksaku. "Iya, sensei.."Aku mulai merasakan hal yang tidak enak menjalari hatiku. "Heemm, bisa tolong panggil suami anda..?"

Dan aku berusaha tabah ketika mendengar penjelasan itu. Janinku tidak berkembang! Penyebabnya sendiri belum diketahui secara persis. Karena pada pemeriksaan terakhir dia masih "hidup". Aku harus mengeluarkannya agar tidak meracuni rahimku.Aa menggegam tanganku erat. Kurasakan tubuhku bergetar menahan tangis. Ya Allah. Kutunggu kedatangannya selama 5 tahun lebih.Mengapa dia Kau panggil tanpa sempat kulihat wajah lucunya? Kenapa Kau panggil dia tanpa sempat aku rasakan lembut kulitnya, indah bening matanya, dan tangisan rewelnya. Aa menggegam tanganku lebih erat lagisambil berucap pelan, "Istighfar, Dede..Istighfar.."Ya, seakan mengerti apa yang bergalau di hatiku.

Aku beristighfar dalam hati mencoba menghilangkan rasa penyesalanku atas taqdir Allah. Tidak, aku tidak boleh menyalahkan Allah atas cobaanNya, seru sebuah bagian hatiku. Tetapi kenapa Dia panggil anakku yang sudah begitu lama kunantikan, tanpa memberiku kesempatan untuk jangankan membelainya, bahkan merasakannya untuk lebih lama berdiam dalam perutku? Seru bagian hatiku yang lain. Ya Allah, ampuni aku. Ya Allah, ampuni aku.Akhirnya bagian hatiku yang bersih menyapu bagian hatiku yang kotor. Dan kutemukan diriku dalam keadaan tenang kembali. Ku dengar Aa berucap pelan "Innalillaahi wa inna ilaihi Raaji'uun.." Dan dengan tenang menandatangani formulir operasi buatku.

Empat hari aku di rumah sakit. Aku tak merasakan perubahan yang berarti pada tubuhku. Tapi tidak demikian pada hatiku. Aku merasakan kesendirian ketika kusadari "anakku" tak ada lagi dalam diriku. Aa sendiri tak banyak berbicara tentang masalah itu. Aa tampak berusaha bersikap biasa. Namun aku tahu Aa menanggung kesedihan yang sama seperti yang kurasakan.

Maghrib itu kami berjamaah seperti biasa. Yang tidak biasa hanyalah itu pertama kali kami shalat berjamaahan sejak aku mengungsi di rumah sakit. Pada rakaat yang kedua Aa membaca surat Al Baqoroh dari ayat 153. Dan suara Aa bergetar ketika mencapai: .... Walanabluwannakum bisyayi im minal khaufi wal juu'i wanaqshim minal amwaali wal anfusi watstsamaraat. Wabasyiri shabiriin Alladziina idzaa ashabathum mushibah, qoluu inna lillaahi wa inna ilaihi raji'uun.Ulaika alaihim shalawaatum mir rabbihim warahmah. Wa ulaaika humul muhtadun... ...

(... Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepada mu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa mushibah mereka berucap: Innalillaahi wainna ilaihi raaji'unn. mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari RabbNya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk ...)

Aku terisak di belakang Aa, mendengar teguran Allah yang lembut itu. Betapaku rasakan Allah langsung menegur sekaligus menghiburku lewat ayat-ayat tersebut. Selesai shalat, seperti biasanya Aa shalat rawatib ba'da maghrib , lalu berdzikir sebentar. Tak lama kemudian membalikkan badannya ke arahku. Aku menatap Aa. Kutemui mata yang cekung dan kurang tidur, karena beberapa hari ini Aa harus menjalani hidup antara rumah, rumah sakit, dan kampus. Kucium punggung tangan Aa seperti biasanya. Aa tersenyum bijak dan mengelus kepalaku dengan tangan kirinya. "Innallaaha ma'ashshabiriin, De.."katanya serak. Aa bukanlah tipe orang yang mudah mengekspresikan emosinya lewat titik air mata. Tapi kali ini, kulihat mata cekung Aa dipenuhi oleh kaca-kaca. Aku mengangguk pelan. Kurasakan mataku memanas lagi, dan kurasakan pandanganku kabur karena genangan air mata. Aa tak melepaskan genggaman tanganku, digenggamnya erat-erat seolah ingin berbagi kekuatan dengan ku.

Ya Allah, jika Engkau masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang Engkau berkati dan rahmati karena kesabaran kami menanggung cobaan, cobaan yang tidak seberat yang dialami saudara-saudara seiman kami yang harus hidup dalam ketakutan, kehilangan harta, bahkan nyawa dalam mempertahankan tanah air Islam, maka bimbinglah kami terus untuk dapat terus menganyam benang-benang kesabaran kami, agar menjadi kuat dan kokh sehingga mampu menanggung cobaan yang lebih berat lagi.(is95)

************

Keterangan: Aa * bahasa sunda artinya sama dengan panggilan Mas(untuk orang Jawa), atau Abang (untuk orang Betawi) Dede * bahasa Sunda, artinya sama dengan adi, jeng (atau apalah panggilan sayang buat istri) Miso * semacam tauco Indonesia terbuat dari beras, kedelai, dan garam Domou arigatou gozaimasu: terimakasih banyak .....san: cara orang Jepang memanggil lawan bicaranya.

Air Matamu, Air Mataku, Air Mata Kita - kumpulan cerpen kompas

Ketika kamu bercerita tentang apa yang dilakukan lelaki tua itu terhadapmu, kita menangis bersama dalam sebuah kamar bermandikan cahaya. Hujan di luar telah mengembunkan kaca jendela sehingga membuatku ingin menggoreskan namaku dan namamu di permukaannya. Cahaya lampu kendaraan bergerak buram di bawah sana. Dari gerak cahaya yang lamban dan kadang berhenti, aku tahu kemacetan sedang terjadi. Hujan selalu menimbulkan kemacetan, tetapi air mata kita telah melegakan rongga dada. Dadaku dan dadamu. Dada kita tak jauh beda.
Lelaki itu kamu panggil Ayah John karena perbedaan usia membuatmu lebih sesuai menjadi anaknya. Dia adalah atasanmu di sebuah perusahaan farmasi. Dia memperlakukanmu seperti anak, meskipun sudah memiliki empat anak perempuan di rumahnya. Dia memanjakanmu dengan semua kelebihan yang dimilikinya. Menyewakan sebuah rumah buatmu dengan seorang pembantu dan seorang sopir, tapi dia selalu menjemputmu dari rumah ke kantor dan mengantarmu dari kantor ke rumah. Sopir hanya bekerja kalau Ayah John sedang ada tugas keluar daerah, sehingga dengan waktu yang demikian panjang, sopir menyambi kerja sebagai tukang ojek.
Kalau ada tanggal merah terutama di akhir pekan, dia mengajakmu berlibur ke Bali, Yogya, Lombok dan beberapa daerah lainnya di dalam negeri. Keluar, kalian hanya mengunjungi Singapura, Malaysia dan Thailand karena waktu yang sempit. Namun Ayah berjanji akan membawamu ke sebuah negara di Eropa nanti. “Aku harus menabung untuk itu. Yakinlah apa pun akan kulakukan untuk membuatmu bahagia,” kata Ayah John kepadamu dan aku mendengarkannya dari bibirmu.
Kamu pun bahagia, setidaknya sampai saat itu. Ayah John memberikan semua yang tidak kamu dapatkan di rumah. Sebagai balasannya kamu memberikan semua yang kamu miliki termasuk kehormatanmu. “Ayah John akan menjadi suamiku. Aku tak peduli jadi istri kedua, itu hanya masalah angka. Aku ingin memiliki anak dari Ayah John.”
Di luar rumah dia memperlakukan kamu seperti anaknya sendiri. Di dalam rumah ia memperlakukan kamu seperti istrinya sendiri. Akhirnya kamu hamil sebelum Ayah John sempat menikahimu. Untuk menenangkanmu dia hanya berjanji segera menikahimu setelah kesibukannya di kantor selesai. Kamu yakin itu benar adanya sampai kemudian kamu menemukan beberapa tablet kecil obat peluruh kandungan dalam mobilnya. Ketika kamu tanyakan, Ayah John berdalih mobilnya dipakai teman dan obat itu milik temannya. Kamu tidak percaya dan kalian bertengkar hebat. Saat itulah Ayah John memukul perutmu. Pukulan untuk pertama kali tapi dilakukan beberapa kali. DIa tak berhenti menangis histeris. Semakin kencang tangisanmu, semakin keras pukulannya.
“Aku tidak tahu apakah itu pukulan seorang ayah terhadap anaknya atau pukulan suami terhadap istrinya. Tapi aku tidak percaya Ayah John melakukan itu.”
Ketika memeriksakan diri ke dokter kandungan, kamu baru menyadari kandunganmu sudah hancur. Ternyata kamu sudah meminum banyak obat peluruh kandungan yang dilarutkan Ayah John dalam minuman kamu, jauh sebelum kamu menemukan sisa obat itu dalam mobilnya. Dokter mengatakan kamu harus dikuret dan dia bertanya apakah kamu sudah menikah.
Kamu mengangguk di tengah kegalauan yang melanda.
“Saya akan memberi rekomendasi untuk dikuret,” kata dokter itu.
Kamu pulang bukan saja dengan kandungan yang hancur, tetapi juga hati yang lebur. Pupus sudah impianmu untuk memiliki anak dari Ayah John. Isi rahimmu dikosongkan sekosong hatimu. Lalu Ayah John pun pergi darimu tanpa pernah mengatakan apa pun. Rumah kontrakan tidak dibayar lagi, pembantu pulang kampung dan supir sepenuhnya bekerja sebagai tukang ojek karena mobil ditarik Ayah John. Bahkan kemudian kamu pun dikeluarkan dari tempatmu berkerja dengan alasan yang tidak kamu pahami dan tanpa pesangon. Ayah John tidak pernah menjawab panggilan teleponmu. Pesan-pesanmu tak pernah ditanggapinya. Semua kemanisan hidup bersama Ayah John berubah menjadi pahit, lebih pahit dari obat yang diam-diam dilarutkan Ayah John dalam minumanmu.
Dalam keputusasaan itu, kamu kembali ingat masih memiliki keluarga. Kamu kembali kepada keluarga hanya untuk membuat hatimu semakin hancur. Bapak dan ibu menerimamu kembali tetapi tidak mau turut campur dalam persoalanmu karena sudah mengingatkan jauh-jauh hari. Mereka bahkan tidak pernah mau mendengarkan penderitaanmu akibat perlakuan Ayah John karena menganggapmu sudah cukup dewasa menanggungnya sendiri.
Itu kata-kata yang pernah kamu ucapkan ketika kamu pergi dari rumah untuk hidup bersama Ayah John. “Ayah John bukan saja telah membunuh bayiku, tetapi juga membunuh jiwaku.”
Kamu mengucapkan itu dengan air mata yang mengalir di pipi sambil menatap air hujan mengalir di permukaan kaca. Aku memelukmu dari belakang dan mencium pipimu penuh perasaan. Air mata kita menyatu seperti tubuh kita. Ketika pernyatuan itu terjadi, bahkan diriku dan dirimu tak bisa membedakan mana air mataku dan mana air matamu. Keduanya mengalir di pipiku dan di pipimu menjadi air mata kita.
***
Ketika kamu bercerita tentang apa yang kamu lakukan terhadap lelaki itu, aku menangis sendiri di dalam kamar yang minim cahaya. Tidak ada hujan di luar sana, tidak ada kemacetan dan tidak ada kamu di sini. Hanya ada aku, hati yang patah dan air mata.
Dua tahun kalian menjalin hubungan, jauh lebih lama dibandingkan denganku yang baru dua bulan. Dua tahun bukanlah perjalanan cinta terlama yang pernah kamu lewati. Masa tujuh tahun penuh cinta, tapi dua tahun itulah yang paling berkesan sepanjang hidupmu.
Di kamar sama, kita memulai percakapan soal masa lalumu, masa laluku serta masa depan kita. Kamu tidak bisa datang malam ini karena “ingin mengujungi saudara yang sakit”. Aku menelpon sabelum kamu berangkat. Kita berecerita tentang aroma dan lagu, dua hal yang bisa membangkitkan memori ke masa lalu. Aroma dan lagu mengundang kenangan, kita bersepakat soal itu.
Aku pun menyemprotkan aroma lemon yang lembut ke seluruh tubuh agar bisa mengingatkanmu sampai di dalam tidur. Aku ingat aroma tubuhmu saat kita menangis bersama dan kuyakin itulah kenikmatan terbesar dalam hidupku. Kejadian itu lebih kuat terpatri bahkan bila dibandingkan dengan desahan kita di kamar mandi.
Setelah mengucapkan janji untuk tetap mencintaiku, suaramu lenyap dari telinga tetapi tetap melekat di hatiku. Aku tidak pernah menyangka itulah kata cinta terakhir yang kudengar darimu. Malam itu aku membawa kerinduanku ke keramaian, berharap lelah datang dan pulang dengan kantuk yang mengundangmu lebih cepat dalam impianku.
Sampai hari berganti dan kamu tak hadir dalam mimpiku, kabar darimu belum juga datang. Aku harus menghubungimu karena didorong rasa rindu yang tak tertahankan. Panggilan pertama sampai panggilan yang tidak dapat kuingat tak juga mendapat tanggapan dari kamu. Aku mengirim pesan dan tidak mendapatkan jawaban. Haruskah kudatangi rumahmu untuk mengetahui apa yang terjadi?
Kamu pernah mengundangku ke rumah dan memperkenalkanku kepada orang tuamu dan ketiga adik lelakimu. Kamu anak perempuan satu-satunya dan sebagai anak sulung orangtuamu mengharapkan kamu bisa menjadi contoh yang baik bagi adik-adik. Kamu diharapkan menjadi tulang punggung keluarga bukan tumpuan tulang selangka Ayah John. Itulah kedatanganku yang pertama sekaligus yang terakhir. Kamu melarangku datang lagi karena kedua orang tuamu tidak merestui hubungan kita. “Bagaimana mereka bisa tahu hubungan kita? Kamu menceritakannya? Bukankan kita sudah sepakat akan merahasiakan sampai mereka dan dunia tahu dengan sendirinya?”
“Aku masih ingat dengan kesepakatan itu. Tapi aku tak ingin mereka tahu lebih cepat.”
“Mereka takkan tahu kalau kamu tidak menceritakannya. Keluargamu mengira kita hanya sahabat. Dunia juga mengira kita sepasang sahabat.”
“Aku bisa membohongi perasaanku dengan kata-kata, tapi tidak dengan mataku.”
Aku menyukai kekhawatiranmu itu dan percaya memang karena itulah kamu melarangku ke rumah lagi. Kalau sekarang aku nekat ke rumahmu untuk mengetahui apa yang terjadi, apakah kamu akan marah?
Panggilan kamu datang ketika aku berada dalam kebimbangan. Aku menyambut suaramu dengan gembira, tetapi kemudian kamu membawa kabar duka. Ayah John kena stroke. Ketika aku mendengar itu pertama kali aku malah menduga itulah kabar gembira sesungguhnya. Kemudian kamu mengatakan dengan jujur selama ini kamu berada di rumah sakit untuk merawat Ayah John.
“Mengapa harus kamu? Bukankah sudah ada keluarganya?”
“Ayah John yang mengharapkan aku datang. Kami merawatnya bersama.”
“Kami?
“Aku, istri Ayah John, dan ke empat anaknya.”
Aku masih belum dapat memahami. Bahkan setelah kamu menjelaskan panjang lebar kalian (kamu, Ayah John, istrinya dan anak-anaknya) sudah berdamai dan sepakat melangsungkan pernikahanmu dengan Ayah John. Itu janji yang akan dipenuhi setelah Ayah John benar benar sembuh.
“Ayah John pernah mengucapkan janji yang sama dulu. Tapi dia mengingkarinya…”
“Beda, sekarang janji di depan keluarganya sendiri dan semuanya menerima. Kami sekarang seperti sebuah keluarga.”
Kamu percaya dengan janji dan perubahan yang cepat sehingga suaramu terdengar sangat bahagia ketika mengucapkan itu. Kamu tidak peduli dengan hariku yang terluka sehingga dengan enteng mengatakan hal itu seperti mengabarkan sebuah berita ada film bagus yang main malam ini.
“Kenapa?” aku mulai tidak mampu mengendalikan emosi setelah sekian lama terdiam, “mengapa kamu lakukan ini kepadaku?
“Maaf, sayang. Aku tahu ini membuatmu sakit. Tapi aku harus mengatakannya. Aku menginginkan seorang anak dari rahimku sendiri.”
Kita pernah sepakat mengadopsi bebrapa anak saat kita hidup bersama. Masihkan kamu ingat dengan semua itu?
Suaramu lalu lenyap dari telingaku dan luka hatiku semakin menganga. Aku tidak percaya kamu melakukan semua ini kepadaku, apa pun alasannya. Kamu membunuh jiwaku dengan membuka kembali cinta lama yang ingin kamu kubur di dasar hatimu paling dalam. Jiwaku baru saja mati tetapi jiwamu baru hidup kembali.
Malam mulai beranjak tua tapi aku masih duduk di tepian ranjang sambil terus menangis. Aku ingin kamu berada di sini dan kita menangis bersama sampai air mata kita menyatu seperti dulu.

FAKTA BENGKULU BUMI RAFFLESIA

1. Bunga Rafflesia pertama kali ditemukan di Bengkulu, ditemukan pertama kali oleh Sir Stamford Raffles dan Dr Joseph Arnold pada tahun 1818 di desa Pulo Lebbar (Kec. Pino Raya) 30 km dari Kota Manna Kab. Bengkulu Selatan.



2. Hasil pencarian di search engine (google) dengan key word "bumi rafflesia", "the land of rafflesia", adalah Bengkulu.



3. Bengkulu miliki 4 jenis Rafflesia.



4. Nama, gambar, miniatur Rafflesia dapat kita jumpai dengan mudah di Bengkulu .



5. Bunga Rafflesia paling produktif mekar setiap bulan sepanjang tahun di Bengkulu (Data KPPL Januari-Mei 2012)



So ... masih ragukah kita menyebut "Bengkulu BUMI RAFFLESIA" ??? BENGKULU adalah "The Land of Rafflesia" yang sebenarnya !

5 fakta tentang kota Palembang

Halo semuanya, apa kabar?
Di kesempatan kali ini, saya mau berbagi tentang 5 fakta tentang kota Palembang, yang mungkin saja belum kalian tahu.
Simak info berikut. Semoga berguna!
5 fakta tentang kota Palembang: 
1. Dulu pernah ada 108 sungai membagi kota Palembang. Karena kondisi ini, Orang-orang Eropa pernah menyebut  Palembang sebagai THE VENICE DARI TIMUR.

2. Sungai Musi, sungai utama di Palembang, adalah sungai terpanjang di Sumatera yang sumber airnya  berasal dari Kepahiang, Bengkulu

3. Jembatan Ampera, jembatan penghubung Seberang ulu dan Seberang ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi, merupakan satu-satunya jembatan di Indonesia dengan mekanisme terbuka dan tertutup. Tapi sejak tahun 1970, tidak bekerja lagi.

4. Masjid Agung, yang terletak di Kecamatan Ilir 19, Kecamatan Ilir Barat I, tepat di persimpangan antara Jalan Merdeka dan Sudirman Street, pusat kota Palembang, merupakan masjid terbesar di Indonesia ketika dibangun pertama kali pada tahun 1738.

5. Benteng Kuto Besak, merupakan ciri khas kota Palembang, yang mempunyai panjang 188,75 meter, lebar dan tinggi dari 183,75 meter 9,99 meter (30 kaki) tebal dan 1,99 meter (6 kaki). Jadi, tak heran dalam perang pertama Palembang di tahun 1819, ketika diserang oleh meriam korvet Belanda, tak ada peluru yang bisa menembus dinding atau pintu.

cerpen DITENGAH PESTA karya Haya Aliya Zaki

Di Tengah Pesta



Cerpen ini pernah dimuat di majalah Story.




Aku menatap  kartu undangan pesta ulang tahun nan manis di atas meja di kamarku. Pesta ulang tahun Anggun. Warnanya putih metalik, dihiasi pita emas, dan taburan glitter warna-warni. Harumnya … hmmm, seperti harum permen karet kesukaanku. Kartu undangan yang mewah. Sepintas kulihat kalimat di bagian bawah kartu.
Garden Party. Dress Code: Romantic White


       Wow, kujamin, pesta ulang tahun ke-17 Anggun kali ini tak kalah megah dan meriah dibandingkan pesta ulang tahunnya yang  sebelumnya. 
Anggun, temanku sekolahku, seorang gadis berkulit putih mulus bak pualam dan berwajah  cantik seperti manekin yang kerap dipajang  butik-butik  pakaian mahal dan bermerek. Wajah dan postur tinggi semampainya mewarisi gen ibunya yang keturunan Jerman. Sementara, tutur katanya yang lembut berasal dari didikan ayahnya yang asli Yogya. Konon katanya, ayah Anggun masih ada hubungan saudara dengan sultan  keraton Yogya. Jadi, Anggun  memiliki darah biru alias keturunan bangsawan. Ck ck ck!   
Anggun putri  tunggal  dari lingkungan keluarga berada. Ayahnya pemilik sebuah perusahaan raksasa yang bergerak di bagian penyediaan komputer dan alat-alat perkantoran. Ibunya aktif dalam pengelolaan yayasan sosial yang mereka miliki. 
Kadang-kadang aku iri dengan temanku itu. Tak terhitung jumlah cowok yang mengejar-ngejar dirinya. Dari mulai Sahat, ketua OSIS yang ganteng; Bram, redaktur buletin sekolah yang pintar; Aldi, sang pemain piano klasik yang andal; sampai Vino, pemegang medali perak olimpiade matematika yang pernah diadakan di Bulgaria. Kurang apa mereka coba? Tapi, tak ada satu pun cinta mereka yang diterima Anggun. Cowok-cowok itu harus mundur teratur karena ditolak. Anggun selalu berkata kalau dia belum ingin pacaran karena ingin menamatkan sekolahnya dulu, lalu melanjutkan kuliah jurusan Ekonomi Akuntansi di sebuah universitas ternama di Jakarta, terus mengambil gelar Master of Finance di Australia. Mungkin alasannya klise bagi orang-orang, tapi tidak bagi Anggun. Dia benar-benar serius mengejar cita-cita. Belajar keras, rajin ikut les privat ini itu. Di kelas, Anggun selalu menduduki peringkat kedua (hohoho, kalau mau tahu, yang langganan peringkat pertama adalah aku!). Di mataku, Anggun adalah cewek yang ambisius. Dengar-dengar, ayahnya akan menyerahkan perusahaan itu kepadanya suatu saat kelak.
Anggun memang cantik, pintar, kaya raya, dan bertutur  lembut. Namun menurutku ya, nilai kepribadiannya agak  di bawah rata-rata. Habis, dia sering merendahkan orang lain, termasuk aku. Tak jarang aku dijadikan bahan olok-oloknya. Dia mengejek sepatuku yang butut, jam tanganku yang kuno, tasku yang belel, atau seragam sekolahku yang ditambal.
“Wah, wah … Teman-Teman, lihat, lihat, bajunya Tita cuakep beneeer ... tambal sulamnya itu lho, ndak kuaaat …!” demikian sindir  Anggun sambil tertawa. Teman-teman satu gengnya ikut cekikikan.  Masalah seragam, sebenarnya aku ingin membeli yang baru. Tapi kupikir-pikir, tahun depan aku tamat.  Tinggal sebentar lagi, kupakai saja yang ‘tambal sulam’ ini, toh tak masalah. Kalau mendengar ejekan Anggun, aku cuek saja. Aku tak pernah mau ambil peduli. Lama-lama dia pasti capek sendiri. Meski begitu, Anggun tak pernah bisa memusuhi aku. Bahkan terkadang kami bisa jadi teman akrab. Soalnya, dia sering merengek minta diajari pelajaran fisika atau kimia padaku. Nilaiku di kedua pelajaran itu hampir selalu sempurna. Salah dia juga, sudah jelas senang pelajaran ekonomi, eh malah masuk jurusan IPA. Nah, sama siapa lagi dia minta diajari kalau tidak sama aku? Sepertinya Anggun mengakui kalau otakku memang genius. Cukup belajar sebentar (sambil menikmati musik), semua soal-soal sulit, dapat terpecahkan olehku. Makanya, beasiswa dari sekolah pun dengan gampang jatuh ke pangkuanku. Hahaha …!
                 “Mamaaa …! Masak apa, Maaa ...?” 
           Aih, suara cempreng itu! Pasti Bang Faisal. Kayaknya  baru pulang kuliah. Lebih baik aku pergi. Aku ada janji dengan Pierre, sahabatku. Pierre itu sahabat sekaligus tetanggaku. Kami berteman sejak kecil. Dia cerdas, baik hati, dan … tampan. Ah, sudahlah.  A … aku malu menceritakannya sekarang …. A ... aku harus segera pergi. Jangan sampai dia terlalu lama menunggu.
***
            Aku suka warna putih. Warna putih melambangkan kepolosan dan kesucian. Akhir-akhir ini, aku selalu memakai pakaian warna putih. Dan, di pesta ulang tahun Anggun nanti, aku sudah menyiapkan gaun putih yang sederhana, namun menawan. Hatiku sedikit berbunga-bunga. Aku yakin, kakak kelas kami, Kak Aura, diundang juga oleh Anggun. Mudah-mudahan Kak Aura mengajak sepupunya yang ganteng itu. Namanya Dylan. Yah, gantengnya beda-beda  tipislah dengan sahabat setiaku, Pierre.



            Anggun memang selalu membuat sensasi. Tiap tahun dia memilih tema pesta yang berbeda. Ulang tahunnya pernah dirayakan di restoran eksklusif, vila asri, dan pantai.  Semua seru! Tahun lalu, Anggun merayakannya di sebuah ballroom hotel terkemuka di kota ini. Alamak, kue ulang tahunnya …tinggi sekali! Ada juga pahatan es dengan inisial A berukuran besar di beberapa pojok ruangan. Tamu yang hadir bukan hanya teman-teman kami, tapi juga dari kalangan pejabat dan artis. Pasti biaya pesta itu sangat mahal. Apalagi, Anggun mengundang grup musik Hijau Daun  yang sedang naik daun. Aku menikmati pesta itu. Bercanda bersama teman-teman, menikmati makanan enak, dan menari dengan iringan musik yang asyik … wuih … rasanya aku tak mau pulang! Dalam hati, meski Anggun kadang-kadang rada menyebalkan, aku dan teman-teman sependapat kalau pesta ulang tahun Anggun lebih kami nanti daripada pesta perpisahan sekolah. Hahaha …!
Dan, tahun ini, Anggun memilih tema pesta kebun.  Benar-benar nekat dia! Musim hujan begini malah mengadakan pesta kebun. Ayah dan ibunya pasti sudah memperingatkan. Tapi, bukan Anggun namanya kalau keinginannya tidak terpenuhi. Dengar-dengar, kedua orangtuanya sudah menyewa pawang hujan segala. Ya, jangan sampai hujan merusak suasana pesta nanti.    
            Aku meraba wajahku yang pucat, juga bagian bawah mataku. Duh, sulit sekali rasanya menghilangkan lingkaran hitam ini. Semakin hari rasanya semakin kelam saja. Aku tidak melihatnya di cermin, tapi aku bisa merasakannya. Hm, sebenarnya masalah kecil ini tidak perlu mengganggu pikiranku. Toh, teman-temanku juga tak akan mempermasalahkannya.
***
            Pesta dimulai pukul tujuh malam. Aku tak ingin terlambat. Aku sudah berdandan sebaik mungkin. Pierre yang mengantarku. Abangku Faisal, si super-usil itu, pasti jam karet lagi. Lebih baik aku berangkat duluan bersama Pierre.
            Pierre menolak masuk. Dia tidak begitu suka pesta. Pierre  mengantarku hanya sampai  di pintu gerbang rumah Anggun yang besar dan ramah. Pintu gerbang itu terbuka lebar, seolah mengajak masuk siapa saja yang ada di hadapannya. Berbagai karangan bunga ucapan selamat ulang tahun berjejer di sepanjang area pesta. Beberapa orang satpam sibuk mengatur parkir mobil-mobil berharga selangit.
            Aku melangkah menuju taman belakang rumah Anggun yang luas. Tapak kakiku terasa seringan kapas. Gaun putihku melambai disapa bayu. Wow, ini baru pesta kebun! pekik hatiku girang. Kami disambut dengan dekorasi balon, bunga-bunga segar, dan ranting-ranting kering sebagai hiasan.  Indahnya obor-obor taman dan lampion aneka warna digantung di beberapa sudut pesta. Lampu-lampu taman bersinar temaram, memberikan nuansa romantis. Di dalam kolam renang, lampu taman juga menyala, sehingga menampilkan bayang-bayang air.
          Para musisi di panggung menyanyikan lagu-lagu easy listening jazz. Kami terhanyut. Tamu-tamu tampaknya kompak mematuhi dress code. Mereka memakai busana putih dengan motif dan bahan yang beragam. Aku berjalan mengelilingi taman sambil tersenyum pada beberapa teman. Seperti biasa, teman-temanku tidak akan bertanya kenapa aku datang sendirian karena mereka sudah maklum kalau Pierre tidak pernah mau bergabung di  pesta. Sedangkan Bang Faisal, kalian tahu sendiri kan. Kalau menunggu dia, bisa-bisa aku datang saat pesta sudah bubar.
 Au, itu dia Dylan! Dia ganteng sekali dengan kemeja abu-abu tua dibalut tuksedo putih. Aku mendekatinya. Ck ck ck, cowok seganteng ini ternyata hobi makan juga. Mulutnya sibuk mengunyah mashed potato, sedangkan di tangan kanannya tergenggam sepiring  fruit salad.  Di tangan kirinya, sudah menanti sepotong chocolate cake. Euuuw … perutku mendadak kenyang melihatnya!
            “Oh my God, Dylan! Kamu jangan malu-maluin Kakak dong! Ganteng-ganteng, kok, rakus!” omel Kak Aura. 
            Dylan tersedak, wajahnya memerah seketika. Aku tertawa geli. Wah, wah, wah, sepertinya dia harus kucoret dalam daftar ‘cowok favorit’ di agendaku!
Aku melambaikan tangan pada  Lili, Friska, dan Paul di kejauhan. Mereka duduk di kursi bersarung putih dengan ikatan pita di belakangnya. Kursi-kursi itu mengelilingi meja bundar. Di tengah keramaian aku menyapa mereka, setengah berteriak sebenarnya. Namun, suaraku seperti lenyap ditelan angin.
          Aha! Dan itu dia si ratu pesta! Anggun mengenakan gaun selutut berwarna putih gading, dengan bahu terbuka. Gaun berbahan halus, mungkin sejenis sifon, aku tidak begitu yakin. Kakinya yang jenjang, sangat jelas terlihat. Penampilannya malam itu begitu memukau. Anggun cantik laksana boneka Barbie! Tiara mungil  –sungguh-sungguh berkilau- bertahta di rambutnya. Tamu-tamu mengucapkan selamat, memberi pelukan hangat dan akrab. Lagu Setahun Bertambah Usiamu mengalun syahdu. Sayang, Anggun menyerahkan potongan kue ulang tahun pertama kepada orangtuanya. Aku jamin, malam itu para cowok ramai-ramai patah hati. Malang nian, mereka cuma bisa menatap Anggun dengan mata tak berkedip dan mulut menganga …hahaha!  
        “Betul-betul pesta yang glamor!” Parlin terkagum-kagum. “Tapi, coba kalian usulkan pada Anggun, bagaimana kalau tahun depan pesta ulang tahunnya dirayakan bersama anak-anak tak mampu?” sambungnya. Parlin memang temanku yang berhati mulia. Hatinya gampang tersentuh, apalagi bila melihat orang yang kesusahan.
       Meta mengangguk-angguk. “Bener banget  yang lo bilang. Keluarga   Anggun, kan, punya yayasan sosial. Masa mereka enggak pernah mengajak anaknya untuk ikut terlibat? Pesta hura-hura kayak gini memang keren. Tapi, ngerayainnya bersama anak-anak nggak mampu, pasti beda rasanya,” komentarnya bijak. Aku setuju dengan pendapat kedua temanku itu.          
“Ya amplop … lusa, kan, kita ujian fisika!” Tiba-tiba Rudi, si kemayu, nyeletuk. “Bisa-bisanya, ya, malam ini kita seneng-seneng! Ntar lusa baru pada nyahok melototin soal-soal dari Pak Silalahi!” ujar Rudi. Syal putih di lehernya dikibas-kibaskan.
Kami semua tertawa. Rudi, teman kami yang satu ini memang selalu membuat suasana ceria. Di kelas, tubuhnya paling bongsor, tapi gayanya lemah gemulai. Ingin sekali aku mencubit gemas pipinya.
“Kalau ngomongin fisika, aku jadi ingat  Tita …,”  ucap Anggun yang tahu-tahu  sudah ada di belakang kami. Dia memandang Rudi dengan tatapan sendu. “Tita yang selalu mengajari aku fisika .…”
Semua langsung terdiam. Wajah mereka mendadak  layu. Hatiku jadi tak enak.
 “Ya, kecelakaan sepeda motor yang tragis. Enam bulan berlalu, tapi bayangan Tita masih lekat dalam ingatanku,” gumam Parlin sedih.
“Semua sudah takdir. Sepeda motor yang dikendarai Pierre dan Tita ditabrak truk. Mereka tidak sempat menghindar. Kita kehilangan dua sahabat sekaligus ….” Meta meneteskan air mata.
Rudi memencet hidungnya yang berair dengan tisu, lalu hidungnya mengeluarkan suara ‘peeet’ yang panjang. “Menurutku, Pierre dan Tita  adalah soulmate. Pierre sudah lama naksir  Tita, meskipun Tita belum juga ngasih jawaban ‘iya’. Mereka itu pasangan yang serasi …,” sambung Rudi dengan suara tercekat.
“Oya, Bang Faisal mana, ya? Aku mengundangnya, tapi kok belum muncul?” desah Anggun, hampir tak terdengar.
Tuhan, aku tak sanggup menyaksikan pemandangan ini. Kristal di mataku mengapung. Aku masih rindu teman-temanku, tapi aku tak ingin melihat wajah mereka terluka. Sebaiknya aku segera meninggalkan pesta ulang tahun Anggun. Kakiku tak menjejak tanah sehingga tubuhku bisa melayang cepat. Angin malam membasuh dingin wajahku. Di halaman depan rumah Anggun, aku berpapasan dengan Bang Faisal yang berjalan tergesa. Ah, abangku ini memang selalu ngaret. Pesta sudah berlangsung dua jam, dia baru tiba. Bang, sekarang abang yang menempati kamarku. Rawat kamarku baik-baik ya …, batinku pilu.
 Beberapa malaikat kecil bersayap telah menantiku di pintu gerbang. Di tengah-tengah mereka, ada Pierre, dengan tubuh menguar cahaya. Dia  menatapku dengan senyum teduhnya, meski wajahnya seputih kertas. Aku menyongsong Pierre.  Bersama kami melangkah menuju tempat peristirahatan terakhir kami .… [] Haya Aliya Zaki