Selasa, 10 September 2013

cinta 8 juni bersama Ina-http://azzria22.blogspot.com/

“ini kita mau kemana In”..tanyaku pada Inaya, yang aku bonceng. 
“ke toko Indocell Bang” Suara Ina terdengar  pelan, hembusan angin serta suara bising dari kendaraan yang berjalan disekitarku membuat pendengaran semakin tidak jelas. Beruntung aku sudah lebih tahu ke toko mana yang dimaksud oleh Ina tadi, karena sebelum berangkat Ina memang mengajakku untuk membeli Tablet. Dan baru kali ini juga Ina mengajakku jalan keluar, biasanya cewek seperti Ina sangat sulit untuk dirayu apalagi diajak jalan-jalan. Pernah dulu aku mau mengajak Ina ke toko buku, dan ditolak dengan lembut, sungguh serba salah saat berhadapan dengan penolakan yang lembut, mau bagaimanapun aku tetap tidak bisa memaksa. Sudahlah itu sudah berlalu, dan sekarang Ina sedang berboncengan denganku. Sedikit ada kesempatan untuk lebih dekat dengan Ina. Sambil terus berjalan pelan menikmati waktu berboncengan dengan Ina, aku sudah berkhayal kemana-mana.
“disini kan In, tokonya” aku berhenti dan mematikan mesin di pinggir jalan,  menunjuk toko yang ada disebrang jalan.”
“iya Bang ini tokonya., tapi kok masih tutup ya Bang” Ina menoleh kearahku, dengan wajah binggungnya. Baru kubuka helm dan keperhatikan lagi, eh iya ternyata masih tutup. Sambil tersenyum kecil.
“iya In, ternyata masih tutup”
“terus gimana Bang?” wajah manja Ina mulai terlihat, seperti anak gadis yang mulai sedih.
“santai, kita jalan dulu aja In, siapa tahu disana ada toko elektronik lain, atau mungkin kamu langsung mau ke Malang Plaza dulu”
“hemm nurut aja deh Bang, kita jalan dulu” . Sempat ku perhatikan wajah Ina lagi,, memang banar kata Maknyem Ina itu ternyata lebih cantik dari Ema.
“ok deh In, pakai lagi helm mu,, ayo lest go!”. Akhirnya kami jalan lagi, tidak bebrapa lama kemudian,
“eh Bang-bang berhenti dulu” Ina menepuk-nepuk bahuku, menyuruh untuk berhenti. “ini lho Bang, tokonya Indocell, sudah buka”. Aku meneloh ke kiri jalan dan ternyata ada cabang dari Indocell lagi, langsung aku berhenti dan memarkirkan sepeda ku ditempat parkir. “helmnya taruh mana Bang” ina melirik ke arah ku, “sudah taruh sini saja, enggak-enggak kalau hilang, sudah ada tukang parkir  kok,, aman” jawabku kepada ina, dan menaruh helm diatas jok sepeda motor tanpa aku kunci dibawah jok layaknya pengamanan helm seperti biasanya.
Suasana masih belum terlalu ramai, parkir sepeda pun masih sepi dan mungkin juga tokonya masih baru buka. Masih terlalu pagi memang, masih jam setengah 10. Makanya tadi toko yang sebelumnya belum buka karena masih terlalu pagi. “ayo Bang, “ ajak Ina kepadaku untuk segera masuk ke dalam toko. Aku hanya mengangguk dan mengikutinya dari belakang. 
“Bang, nanti temenin terus ya., ini sebenarnya enggak langusung beli, lihat-lihat harga dulu” Ina mendekatkan wajahnya kepadaku dan berkata pelan sambil tersenyum.
“hemmm,, ok In, aku kira kamu langsung beli sekalian”
“enggak bang, sebenarnya aku disuruh kakak ku untuk melihat harga Tablet, soalnya yang mau beli Tablet itu kakak ku”
Selanjutnya kami bertanya ini itu dengan pelayan yang ada didalam, melihat model-model serta harga yang sesuai, biasalah yang namanya pembeli pasti ingin barang yang bagus dengan harga miring. “gimana In sudah cocok dan punya pilihan kira-kira mau beli yang mana?” 
“belum Bang, aku masih mau membandingkan kisaran harga, serta merk yang terkenal”
“ya coba kabari kakak mu dulu, tentang harga barang serta kualitasnya biar bisa kira-kira mau beli yang merk dan harga yang diinginkan”
“ok Bang, bentar ya aku telpon kakak ku dulu”
Aku hanya mengganggukkan kelapa kepada Ina, dan tersenyum. Ina berjalan sedikit menjauh. Tidak beberapa lama Ina mendekat lagi.
“gak diangkat Bang” ekspresi sedikit kecewa, menghadapku.
“hemm mungkin masih sibuk In”
“ya udah Bang, yuk lanjut lagi lihat-lihat di Malang Plaza, siapa tahu ada yang lebih murah” ajak Ina 
“oke sekalian jalan-jalan In, refreshing sejenak dari tugas-tugas”
“haha, iya Bang sebenarnya aku juga lagi suntuk dengan tugas yang menumpuk” balas Ina sambil tersenyum. Senyumnya benar-benar manis.
Akhirnya kami pergi dari Indocell menuju ke Malang plaza. Melewati jalanan kota Malang yang semakin siang semakin padat penuh dengan kendaraan. Berkeliling melewati jalan utama melintasi alun-alun kota. Lalu belok menuju arah pasar besar. Malang Plaza memang berdekatan dengan pasar besar. Masuk menuju tempat parkir, memakirkan sepeda lalu berjalan berdua bersama Ina. Melihat-lihat koleksi barang disana bertanya sama para pelayan toko grosir elektronik yang berwajah ramah menawarkan bermacam-macam mode alat komunikasi terkini.
“mahal disini Bang harganya mending, beli di indocell saja” 
“lha terus sekarang mau kemana lagi In” aku balik bertanya kepada Ina.
“enaknya kemana ya Bang, cari maem dulu yuk Bang, laper belum sarapan” pinta Ina
“makan dimana In?” Dimana aja wes Bang aku manut” jawab Ina sambil tersenyum.
Aku malah semakin binggung kalau sudah terdengar jawaban terserah. Jawaban ini seolah mengandung jebakan, karena jika itu terserah ditunjukkan kepadaku maka pilihannya belum tentu cocok dengan Ina. Sedangkan jika terserah Ina, belum tentu cocok denganku meskipun sebenarnya cowok tetep berusaha mengalah di depan cewek. Kami melangkah keluar menuju tempat parkiran. Mengambil sepeda dan lest go pergi lagi. Mau pergi kemana, juga masih binggung, cari tempat makan yang pas sesuai suasana dan kantong tentunya.
“jadi kemana In, makan diwarung pinggir jalan-jalan sini ta?” aku menoleh kebelakang. Dan Ina pasti paham dengan maksud ku, karena sepanjang pinggir jalan berderet warung makan lesehan.
“hemm jangan deh bang, muter lagi aja dulu”
“mau makan apa seh In, pecel ta?”
“enggak Bang, bosen kalau pecel” “lha terus apa In?”
“Muter dulu aja deh Bang, entar lak ketemu sendiri. Aku turuti saja kemauan Ina untuk berkeliling dulu. Belok kanan kiri sambil mencari jalan pulang. Dan yang aku takutkan terjadi, enggak lucu juga kalau ngajak cewek terus enggak tahu jalan pulang. Dengan tetap menjaga ekspresi agar tidak kelihatan gugup aku tetap saja diam.
“Bang, ini kita gak salah arah kan?” suara Ina, mengagetkan kosentrasiku
“hehe, iya In kayaknya kita tersesat, aku lupa tadi belok kemana kalau kembali” akirnya aku jujur kepada Ina. Suasana hari itu memang ramai sekali, apalagi di kawasan pasar besar. Banyak kenadaran lewat beriring-iringan seperti tidak ada jedanya sama sekali. Macet pun sudah menjadi pemandangan biasa di kota malang. Arus lalu lintas memang benar-benar semakin padat. Dibutuhkan kesabaran saat dijalan. Aku dan Ina terjebak kemacetan di daerah pasar besar.
“In, gimana nih., kita terjebak arus” aku masih terlihat bingung, terjebak diantara mobil, truk-truk besar, serta sepeda motor yang sesuka hatinya salip sana sini.
“aku juga gak tahu Bang, ikuti arus aja dulu deh Bang” suara Ina juga sudah mulai gugup.
Di depan terlihat lampu merah, diabawah fly over. 
“kayaknya aku tahu deh Bang, ini kan jalan dari arah Gadang. Disini juga tempat daerah jualannya umminya Maknyem”.
“ohh,, gitu ya In, terus didepan itu kita belok apa terus lurus?” aku mengajak ina untuk melihat  ke arah depan karena disana ada pertigaan. 
“belok kanan saja Bang, terus ikuti terus arus searah”
Saran Ina yang kedua aku turuti, mengikuti arus lalu lintas. Berjalan mengikuit jalan searah, aku sebenarnya juga tidak tahu mau kemana, yang penting menuju jalan utama dulu. Atau setidaknya jalan yang sudah ku kenal. Ternyata benar saran Ina, setelah mengikuti arus jalan, aku sudah mulai mengenali arah jalan ini ingatanku kembali. Teringat waktu dulu saat wira-wiri bersama Aan di pasar besar satu tahun yang lalu. Setelah belok kanan lalu belok kiri sekali lagi akan bertemu dengan jalan utama. Ya aku tahu jalan ini.
◊◊◊◊◊
Dan akhirnya kembali masuk jalan utama. Menuju arus pulang. Tapi disisi lain, tujuan kami belum juga tercapai yaitu untuk makan. 
“In jadi makan dimana” tanya ku kembali pada Ina
“hemm makan apa ya Bang enaknya?”. Kebiasaan Ina yang ngalem mulai terlihat lagi. Terlalu lembut untuk ukuran cewek seumuran Ina. Kecepatan sepeda motor mulai aku turunkan, di kiri jalan berderet warung penjual makanan. 
“berhenti dulu Bang, kayaknya tadi ada warung pecel”. Tangan Ina menepuk-nepuk pundakku dari belakang. Aku berhenti, dan kembali putar arah.
“masak disini In”. Aku melihat warung makan yang disarankan oleh Ina, terskesan mewah dan bisa dipastikan mahal.
“lha terus mau dimana lagi Bang”
“udah jalan dulu lagi saja In, masih banyak di depan”
Aku melanjutkan perjalan. Di sebrang jalan, ada warung nasi. Tempatnya nyaman kelihatannya. Langsung aku putar balik, lalu berhenti disana. 
“In disini saja ya?” aku bertanya pada Ina.
“hemm, ya sudah deh Bang,” lagi-lagi jawaban Ina terkesan pasrah. Padahal aku tadi sudah menawarkan beberapa kali pilihan untuknya. Namun pilihan ku lah yang akhirnya menjadi pilihan Ina juga.
Masuk ke dalam masih sepi, dan baru kami saja yang mungkin datang. Jam setengah 11. Mata ku langsung fokus terhadap daftar menu serta harga yang sengaja dipajang di depan pintu masuk. Memilah menu yang sekiranya cocok dan pas di kantong.
“In mau pesan apa?” Ina juga masih melihat-lihat daftar menu. “hemm pesan soto ayam saja deh Bang” jawab Ina.“ya sudah deh samain saja, soto ayam 2, terus kamu mau minum apa In?” “gag usah Bang, aku bawa botol minum kok” Ina menunjukan botol air minum dalam tasnya.
Suasana tempat makan kami cukup strategis. Kami duduk satu meja, aku duduk tepat di sebelah kiri Ina. Jadi kami duduk bersebalahan. Dan hanya kami berdua saja yang kebetulan makan disana, masih belum ada pelanggan lain yang makan disana.
“oh jadi yang kepengin beli tablet itu sebenarnya kakak mu ta In”
“iya Bang, aku tadi cuma disuruh untuk survei harga saja, entar kalau cocokbaru kakak ku sendiri yang datang ke malang”
“hemm, maaf ya yang kemarin aku masih di kediri jadi waktu kamu sms itu masih di pondok” “oalah, iya Bang gak papa, lagian aku sebenarnya juga bingung mau ngajak siapa, mau ngajak Singgih dia juga katanya gag bisa”
“terus ? ngajak aku gitu ta In?”  “iya Bang, gag papa kan Bang, pean gag ngerepotin kan?” wajah Ina berubah seperti takut.
“hehe biasa saja kali In sama aku, kayak baru kenal saja” sambil tersenyum aku kembali menggoda Ina. “hehe sebenarnya aku sungkan Bang, mau ngajak pean” “sungkan kenapa In,.lagian aku kan juga bebas, kamu tahu sendiri kan?”
◊◊◊◊◊
Pembicaraan ku dengan Ina mulai menuju kepembahasan tentang cinta. Suasan semakin merucut, aku juga tahu akhir-akhir ini maknyem sering menjodoh-jodohkan aku dengan Ina, katanya kami pasangan serasi. Semester kemarin saat kami mengikuti lomba cross culture mewakili kelas kami, kami memang terlihat sangat serasi. Lomba tersebut menampilkan beberapa budaya daerah, kebetulan pula waktu itu Habib sebagai ketua kelas menunjuk kami, karena kami dianggap paling pas untuk mewakili budaya jawa tengah. Logat jawa ku masih sangat terasa, begitu juga Ina, yang asli dari Blitar juga sangat khas sekali dalam berahasa jawa terutama bahasa jawa alus (krama inggil). Kami berhasil membawa nama kelas kami sebagai juara 1 tidak sia-sia usahaku waktu itu, mengorbankan wajah ku menjadi malpraktek dandanan Maknyem.
“lha terus hubungan pean dengan Fida gimana Bang?” “entah lah In, cerita cintaku semuanya mbulet tidak bermuara dengan pasti, lha kamu sendiri gimana In” aku balik membalik pertanyaan Ina soal kisah cinta. Wajah Ina, kembali panik, sambil memandang mata ku tajam.
“aku sebenarnya sudah punya pacar Bang, tapi long distance”. Pernyataan tadi membuatku sedikit kaget mengingat Ina adalah gadis pendiam dan terlihat masih belum punya pacar. “hemm, emang siapa In pacar kamu? aku berusaha tetap bersikap wajar. Masih dengan anak madura yang waktu itu?” 
“enggak lah Bang, aku sudah putus dengan dia, kami hanya bertahan 2 minggu saja.” “lah terus sekarang sama siapa In?” “anak pasuruan Bang, dulu aku dikenalkan sama Feri”
“lha kalau hubungan beberti hanya lewat HP saja dong In?”selidik ku lebih dalam. “iya Bang, sebenarnya aku gak terlalu suka dengan pola hubungan kami yang seperti ini Bang, dia disana dan aku disini, terlalu banyak tanda tanya dengan hubungan kami” jelas Ina.
“begitu ya In, kenapa enggak cari penganti yang pasti-pasti saja misalnya aku” aku sedikit bercanda. Wajah Ina berubah kaget. “hehe emang menurut Bang Udin, aku tuh orangnya gimana?” “gimana ya In, kamu itu baik menarik tapi terkadang kelihatan genit” “masak Bang,” “Iya In, saat kamu digodain anak-anak cowok terdakang kamu kelihatan genit”
“kalau aku gimana In?” aku gantian bertanya kepada Ina. “aku terlalu polos ya ?” belum sempat Ina menjawab aku sudah mendahuluinya berbicara. “iya bang, sampean  itu polos.., pendiem tapi pinter”. “gimana In tertarik berarti sama aku” aku masih berniat untuk menggoda Ina. Ina terlihat malu-malu untuk menjawab, dan tatapan matanya seolah berkata, Bang Udin PeDe banget ngomong gitu . itu yang aku lihat dari sorot matanya.
“ye,,ya enggak segampang itu lah Bang, lagian kalau pun kita jadian, hubungan ini akan semakin rumit. Apa Abang udah benar-benar bisa ngelupain Ema?” pertanyaan Ina membuatku sulit langsung menjawab. Benar juga kata Ina, jika hubunganku dengan Ina dilanjutkan ke arah serius, seperti jadian maka aku akan membuat pola hubungan baru yang lebih rumit. Aku terdiam sejenak. Baru aku mulai berkata lagi.
“memang seh In, aku belom benar-benar bisa melupakan Ema, tapi jika kamu tahu sendiri kan In, bagaimana cerita hubungan ku dengan Ema. Kamu tahu sendiri perasaanku dengan Ema itu berbanding terbalik In. Hubungannya Ema dengan pacarnya sampai saat ini juga masih langgeng-langgeng saja”.
“terus semisal kita jadian, berarti aku jadi pelarian dong Bang, secara aku sendiri juga teman dekatnya Ema, hemm jangan aku deh Bang”. Aku sedikit tertawa mendengar balasan dari Ina. Dan aku pun juga tahu maskud dari kata-kata Ina. Tidak semudah apa yang dikatakan ini benar-benar rumit, bagaimana seorang sahabat menjaga perasaannya demi cinta yang mereka miliki.
“haha iya Ina benar, tapi semisal kita jadian beneran ini akan lebih menarik lagi untuk sebuah kisah persahabatan dan cinta. Dulu aku suka dengan Ema sekarang aku mulai suka dengan mu, antara aku, kamu dan Ema, kita saling kenal satu sama lain bahkan sudah akrab sejak lama. Ini terlihat lebih dramatis lagi daripada kisah sedih yang sering diputar di TV.”
“ya sudah deh Bang, ini memang tidak mudah. Percuma saja Abang berusaha mencintaiku namun hati abang masih untuk Ema”.
“tunggu In, justru aku berusaha mencintaimu untuk melupakan Ema.”
“serius Bang, tapi jika suatu saat Ema bisa berubah untuk Abang, apakah abang akan balik ke Ema?”
“maksud kamu In?”
“ya gini lho Bang, semisal Ema benar-benar bisa berubah untuk Abang, putus dari pacarnya lalu  Ema menjadi seperti yang abang inginkan, apakah abang masih mau jadi pacarnya misalny atau lebih dari itu?” tegas Ina. Sambil memandangkan dengan tenang. Pertanyaan yang menusuk.
“sudahlah In, jika kita terlalu membahas terlalu dalam entar malah gak selesai-selesai, birkan semua berjalan apa adanya. Suatu saat saat kita semua sudah berpisah dan menemukan jalan masing-masing tentu semua akan berubah. Bahkan kamu dan aku pun berubah”.
Ina terdiam, dia mulai mengerti dari kata-kata ku tadi. 
◊◊◊◊◊
“sekarang kita mau kemana lagi  Bang, baru jam setengah 11” aku melihat jam dinding dan ternyata benar tidak terasa sudah satu jam aku berbincang dengan Ina, sambil menikmati semangkuk soto. Sayang jika kebersamaan dengan Ina seperti ini hanya sampai disini.
“gimana kalau nonton bioskop In?” aku menawarkan kepada Ina.
“ide bagus itu Bang, lagian aku juga pengen merefresh pikiran yang suntuk karena tugas”
Tanpa menunggu lama lagi, aku dan Ina segera beranjak pergi dari warung itu. Dan mencari gedung bioskop terdekat. Semula kami mengira kalau dalam MOG itu ada gedung bioskopnya. Seperti orang yang sok tahu kami tetap yakin jika didalam MOG ada bioskopnya, seperti yang ada di Matos. Setelah memarkir sepeda dan melalui pintu masuk, kami berjalan santai menuju lantai demi lantai. Aku tetap berusaha berjalan di dekat Ina, ingin rasanya ku gandeng tangan Ina, namun apa daya jika itu kulakukan akan merusak suasana. 
“bang di sebelah mana seh bioskopnya? Ini sudah lantai paling atas sendiri” keluh Ina. “sebentar In, pasti ada di sekitar sini” dengan percaya diri aku berjalan kecil melihat-lihat di sekitar siapa tahu ada pintu bertuliskan bioskop. “bang mending tanya mas cleningg servis deh, daripada celingak-celinguk kayak gini”
Kami pun memutuskan untuk bertanya daripada malah bingung mencari pintu bioskop. 
“mas disini gak ada bioskop, kalau mau nonton bioskop ya di Matos sana?” wajah mas-mas clening servis terlihat puas dengan menertawai kami seperti orang kampung yang baru kenal kota malang. Aku dan Ina hanya tertawa gara-gara tingkah sok tahu kami. 
◊◊◊◊◊
Beberpa menit kemudian akhirnya kami sampai juga di Matos, salah satu mall besar yang ada di kota Malang. Nah kalau disini aku memang sudah paham kalau ada bioskop ya meskipun baru kali pertama nonton bioskop di Malang.
“dulu waktu masih di kediri aku suka nonton di Golden In, “ “Golden dekatnya SR itu ya Bang?” “iya.., kamu juga pernah kesana?” “pernah Bang, dulu pernah diajak temanku main kesana?”
Aku tidak terlalu kaget soal hal itu. Karena dulu Ina juga pernah sekolah dan pondok di Kediri. 
Susana antrian bioskop di Matos.
“in mau nonto apa?” “yang seru Bang, nonton fast to fariuos 6 aja bang”.”oke deh,!” aku langsung menyutujui keinginan Ina.
Beruntung kami mengantri tidak terlalu lama dengan jadwal film yang ingin kami lihat. Sungguh penyiksaan perasaan yang semakin memnunjak. Laju darah memompa semakin kenjang, suasa romantis dalam gedung tidak bisa membuatku berbuat apa-apa. 
kesempatan Udin ayo pegang tangan Ina” bisik setan dalam diriku.
Aku hanya kembali melihat wajah Ina dengan senyum manis. Sungguh menyilaukan mata di tengah ruang bioskop yang gelap. Bagai embun yang turun di pagi hari, cahaya wajah Ina sungguh menyejukan. Kali ini aku benar-benar yakin selama ini aku sudah tersesat dengan Ema, padahal Ina lebih dari pada Ema. Sungguh!
Kenangan kami hari itu akan selalu aku ingat. Peristiwa 8 Juni, kencan seharian bersama Ina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar