“ini kita mau
kemana In”..tanyaku pada Inaya, yang aku bonceng.
“ke toko Indocell
Bang” Suara Ina terdengar pelan,
hembusan angin serta suara bising dari kendaraan yang berjalan disekitarku
membuat pendengaran semakin tidak jelas. Beruntung aku sudah lebih tahu ke toko
mana yang dimaksud oleh Ina tadi, karena sebelum berangkat Ina memang
mengajakku untuk membeli Tablet. Dan baru kali ini juga Ina mengajakku jalan
keluar, biasanya cewek seperti Ina sangat sulit untuk dirayu apalagi diajak
jalan-jalan. Pernah dulu aku mau mengajak Ina ke toko buku, dan ditolak dengan
lembut, sungguh serba salah saat berhadapan dengan penolakan yang lembut, mau
bagaimanapun aku tetap tidak bisa memaksa. Sudahlah itu sudah berlalu, dan
sekarang Ina sedang berboncengan denganku. Sedikit ada kesempatan untuk lebih
dekat dengan Ina. Sambil terus berjalan pelan menikmati waktu berboncengan
dengan Ina, aku sudah berkhayal kemana-mana.
“disini kan In,
tokonya” aku berhenti dan mematikan mesin di pinggir jalan, menunjuk toko yang ada disebrang jalan.”
“iya Bang ini
tokonya., tapi kok masih tutup ya Bang” Ina menoleh kearahku, dengan wajah
binggungnya. Baru kubuka helm dan keperhatikan lagi, eh iya ternyata masih
tutup. Sambil tersenyum kecil.
“iya In, ternyata
masih tutup”
“terus gimana
Bang?” wajah manja Ina mulai terlihat, seperti anak gadis yang mulai sedih.
“santai, kita
jalan dulu aja In, siapa tahu disana ada toko elektronik lain, atau mungkin
kamu langsung mau ke Malang Plaza dulu”
“hemm nurut aja
deh Bang, kita jalan dulu” . Sempat ku perhatikan wajah Ina lagi,, memang banar
kata Maknyem Ina itu ternyata lebih cantik dari Ema.
“ok deh In, pakai
lagi helm mu,, ayo lest go!”. Akhirnya kami jalan lagi, tidak bebrapa lama
kemudian,
“eh Bang-bang
berhenti dulu” Ina menepuk-nepuk bahuku, menyuruh untuk berhenti. “ini lho
Bang, tokonya Indocell, sudah buka”. Aku meneloh ke kiri jalan dan ternyata ada
cabang dari Indocell lagi, langsung aku berhenti dan memarkirkan sepeda ku
ditempat parkir. “helmnya taruh mana Bang” ina melirik ke arah ku, “sudah taruh
sini saja, enggak-enggak kalau hilang, sudah ada tukang parkir kok,, aman” jawabku kepada ina, dan menaruh
helm diatas jok sepeda motor tanpa aku kunci dibawah jok layaknya pengamanan
helm seperti biasanya.
Suasana masih
belum terlalu ramai, parkir sepeda pun masih sepi dan mungkin juga tokonya
masih baru buka. Masih terlalu pagi memang, masih jam setengah 10. Makanya tadi
toko yang sebelumnya belum buka karena masih terlalu pagi. “ayo Bang, “ ajak
Ina kepadaku untuk segera masuk ke dalam toko. Aku hanya mengangguk dan
mengikutinya dari belakang.
“Bang, nanti
temenin terus ya., ini sebenarnya enggak langusung beli, lihat-lihat harga
dulu” Ina mendekatkan wajahnya kepadaku dan berkata pelan sambil tersenyum.
“hemmm,, ok In,
aku kira kamu langsung beli sekalian”
“enggak bang,
sebenarnya aku disuruh kakak ku untuk melihat harga Tablet, soalnya yang mau
beli Tablet itu kakak ku”
Selanjutnya kami
bertanya ini itu dengan pelayan yang ada didalam, melihat model-model serta
harga yang sesuai, biasalah yang namanya pembeli pasti ingin barang yang bagus
dengan harga miring. “gimana In sudah cocok dan punya pilihan kira-kira mau
beli yang mana?”
“belum Bang, aku
masih mau membandingkan kisaran harga, serta merk yang terkenal”
“ya coba kabari
kakak mu dulu, tentang harga barang serta kualitasnya biar bisa kira-kira mau
beli yang merk dan harga yang diinginkan”
“ok Bang, bentar
ya aku telpon kakak ku dulu”
Aku hanya
mengganggukkan kelapa kepada Ina, dan tersenyum. Ina berjalan sedikit menjauh.
Tidak beberapa lama Ina mendekat lagi.
“gak diangkat
Bang” ekspresi sedikit kecewa, menghadapku.
“hemm mungkin
masih sibuk In”
“ya udah Bang,
yuk lanjut lagi lihat-lihat di Malang Plaza, siapa tahu ada yang lebih murah”
ajak Ina
“oke sekalian
jalan-jalan In, refreshing sejenak dari tugas-tugas”
“haha, iya Bang
sebenarnya aku juga lagi suntuk dengan tugas yang menumpuk” balas Ina sambil
tersenyum. Senyumnya benar-benar manis.
Akhirnya kami
pergi dari Indocell menuju ke Malang plaza. Melewati jalanan kota Malang yang
semakin siang semakin padat penuh dengan kendaraan. Berkeliling melewati jalan
utama melintasi alun-alun kota. Lalu belok menuju arah pasar besar. Malang
Plaza memang berdekatan dengan pasar besar. Masuk menuju tempat parkir,
memakirkan sepeda lalu berjalan berdua bersama Ina. Melihat-lihat koleksi
barang disana bertanya sama para pelayan toko grosir elektronik yang berwajah
ramah menawarkan bermacam-macam mode alat komunikasi terkini.
“mahal disini
Bang harganya mending, beli di indocell saja”
“lha terus
sekarang mau kemana lagi In” aku balik bertanya kepada Ina.
“enaknya kemana ya Bang, cari maem
dulu yuk Bang, laper belum sarapan” pinta Ina
“makan dimana
In?” Dimana aja wes Bang aku manut” jawab Ina sambil tersenyum.
Aku malah semakin
binggung kalau sudah terdengar jawaban terserah. Jawaban ini seolah mengandung
jebakan, karena jika itu terserah ditunjukkan kepadaku maka pilihannya belum
tentu cocok dengan Ina. Sedangkan jika terserah Ina, belum tentu cocok denganku
meskipun sebenarnya cowok tetep berusaha mengalah di depan cewek. Kami
melangkah keluar menuju tempat parkiran. Mengambil sepeda dan lest go pergi
lagi. Mau pergi kemana, juga masih binggung, cari tempat makan yang pas sesuai
suasana dan kantong tentunya.
“jadi kemana In,
makan diwarung pinggir jalan-jalan sini ta?” aku menoleh kebelakang. Dan Ina
pasti paham dengan maksud ku, karena sepanjang pinggir jalan berderet warung
makan lesehan.
“hemm jangan deh
bang, muter lagi aja dulu”
“mau makan apa
seh In, pecel ta?”
“enggak Bang,
bosen kalau pecel” “lha terus apa In?”
“Muter dulu aja
deh Bang, entar lak ketemu sendiri. Aku turuti saja kemauan Ina untuk
berkeliling dulu. Belok kanan kiri sambil mencari jalan pulang. Dan yang aku
takutkan terjadi, enggak lucu juga kalau ngajak cewek terus enggak tahu jalan
pulang. Dengan tetap menjaga ekspresi agar tidak kelihatan gugup aku tetap saja
diam.
“Bang, ini kita
gak salah arah kan?” suara Ina, mengagetkan kosentrasiku
“hehe, iya In
kayaknya kita tersesat, aku lupa tadi belok kemana kalau kembali” akirnya aku
jujur kepada Ina. Suasana hari itu memang ramai sekali, apalagi di kawasan
pasar besar. Banyak kenadaran lewat beriring-iringan seperti tidak ada jedanya
sama sekali. Macet pun sudah menjadi pemandangan biasa di kota malang. Arus
lalu lintas memang benar-benar semakin padat. Dibutuhkan kesabaran saat
dijalan. Aku dan Ina terjebak kemacetan di daerah pasar besar.
“In, gimana nih.,
kita terjebak arus” aku masih terlihat bingung, terjebak diantara mobil,
truk-truk besar, serta sepeda motor yang sesuka hatinya salip sana sini.
“aku juga gak
tahu Bang, ikuti arus aja dulu deh Bang” suara Ina juga sudah mulai gugup.
Di depan terlihat lampu merah, diabawah
fly over.
“kayaknya aku
tahu deh Bang, ini kan jalan dari arah Gadang. Disini juga tempat daerah jualannya
umminya Maknyem”.
“ohh,, gitu ya
In, terus didepan itu kita belok apa terus lurus?” aku mengajak ina untuk
melihat ke arah depan karena disana ada
pertigaan.
“belok kanan saja
Bang, terus ikuti terus arus searah”
Saran Ina yang kedua aku turuti, mengikuti
arus lalu lintas. Berjalan mengikuit jalan searah, aku sebenarnya juga tidak
tahu mau kemana, yang penting menuju jalan utama dulu. Atau setidaknya jalan
yang sudah ku kenal. Ternyata benar saran Ina, setelah mengikuti arus jalan,
aku sudah mulai mengenali arah jalan ini ingatanku kembali. Teringat waktu dulu
saat wira-wiri bersama Aan di pasar besar satu tahun yang lalu. Setelah belok
kanan lalu belok kiri sekali lagi akan bertemu dengan jalan utama. Ya aku tahu
jalan ini.
◊◊◊◊◊
Dan akhirnya kembali masuk jalan utama.
Menuju arus pulang. Tapi disisi lain, tujuan kami belum juga tercapai yaitu
untuk makan.
“In jadi makan
dimana” tanya ku kembali pada Ina
“hemm makan apa
ya Bang enaknya?”. Kebiasaan Ina yang ngalem mulai terlihat lagi.
Terlalu lembut untuk ukuran cewek seumuran Ina. Kecepatan sepeda motor mulai
aku turunkan, di kiri jalan berderet warung penjual makanan.
“berhenti dulu
Bang, kayaknya tadi ada warung pecel”. Tangan Ina menepuk-nepuk pundakku dari
belakang. Aku berhenti, dan kembali putar arah.
“masak disini
In”. Aku melihat warung makan yang disarankan oleh Ina, terskesan mewah dan
bisa dipastikan mahal.
“lha terus mau
dimana lagi Bang”
“udah jalan dulu
lagi saja In, masih banyak di depan”
Aku melanjutkan perjalan. Di sebrang
jalan, ada warung nasi. Tempatnya nyaman kelihatannya. Langsung aku putar
balik, lalu berhenti disana.
“In disini saja
ya?” aku bertanya pada Ina.
“hemm, ya sudah
deh Bang,” lagi-lagi jawaban Ina terkesan pasrah. Padahal aku tadi sudah
menawarkan beberapa kali pilihan untuknya. Namun pilihan ku lah yang akhirnya
menjadi pilihan Ina juga.
Masuk ke dalam
masih sepi, dan baru kami saja yang mungkin datang. Jam setengah 11. Mata ku
langsung fokus terhadap daftar menu serta harga yang sengaja dipajang di depan
pintu masuk. Memilah menu yang sekiranya cocok dan pas di kantong.
“In mau pesan
apa?” Ina juga masih melihat-lihat daftar menu. “hemm pesan soto ayam saja deh
Bang” jawab Ina.“ya sudah deh samain saja, soto ayam 2, terus kamu mau minum
apa In?” “gag usah Bang, aku bawa botol minum kok” Ina menunjukan botol air
minum dalam tasnya.
Suasana tempat
makan kami cukup strategis. Kami duduk satu meja, aku duduk tepat di sebelah
kiri Ina. Jadi kami duduk bersebalahan. Dan hanya kami berdua saja yang
kebetulan makan disana, masih belum ada pelanggan lain yang makan disana.
“oh jadi yang
kepengin beli tablet itu sebenarnya kakak mu ta In”
“iya Bang, aku
tadi cuma disuruh untuk survei harga saja, entar kalau cocokbaru kakak ku sendiri
yang datang ke malang”
“hemm, maaf ya
yang kemarin aku masih di kediri jadi waktu kamu sms itu masih di pondok” “oalah,
iya Bang gak papa, lagian aku sebenarnya juga bingung mau ngajak siapa, mau
ngajak Singgih dia juga katanya gag bisa”
“terus ? ngajak
aku gitu ta In?” “iya Bang, gag papa kan
Bang, pean gag ngerepotin kan?” wajah Ina berubah seperti takut.
“hehe biasa saja kali In sama aku, kayak
baru kenal saja” sambil tersenyum aku kembali menggoda Ina. “hehe sebenarnya
aku sungkan Bang, mau ngajak pean” “sungkan kenapa In,.lagian aku kan
juga bebas, kamu tahu sendiri kan?”
◊◊◊◊◊
Pembicaraan ku
dengan Ina mulai menuju kepembahasan tentang cinta. Suasan semakin merucut, aku
juga tahu akhir-akhir ini maknyem sering menjodoh-jodohkan aku dengan Ina, katanya
kami pasangan serasi. Semester kemarin saat kami mengikuti lomba cross culture
mewakili kelas kami, kami memang terlihat sangat serasi. Lomba tersebut
menampilkan beberapa budaya daerah, kebetulan pula waktu itu Habib sebagai
ketua kelas menunjuk kami, karena kami dianggap paling pas untuk mewakili
budaya jawa tengah. Logat jawa ku masih sangat terasa, begitu juga Ina, yang
asli dari Blitar juga sangat khas sekali dalam berahasa jawa terutama bahasa
jawa alus (krama inggil). Kami berhasil membawa nama kelas kami sebagai
juara 1 tidak sia-sia usahaku waktu itu, mengorbankan wajah ku menjadi
malpraktek dandanan Maknyem.
“lha terus
hubungan pean dengan Fida gimana Bang?” “entah lah In, cerita cintaku
semuanya mbulet tidak bermuara dengan pasti, lha kamu sendiri gimana In” aku
balik membalik pertanyaan Ina soal kisah cinta. Wajah Ina, kembali panik,
sambil memandang mata ku tajam.
“aku sebenarnya
sudah punya pacar Bang, tapi long distance”. Pernyataan tadi membuatku sedikit
kaget mengingat Ina adalah gadis pendiam dan terlihat masih belum punya pacar. “hemm,
emang siapa In pacar kamu? aku berusaha tetap bersikap wajar. Masih dengan anak
madura yang waktu itu?”
“enggak lah Bang,
aku sudah putus dengan dia, kami hanya bertahan 2 minggu saja.” “lah terus
sekarang sama siapa In?” “anak pasuruan Bang, dulu aku dikenalkan sama Feri”
“lha kalau
hubungan beberti hanya lewat HP saja dong In?”selidik ku lebih dalam. “iya
Bang, sebenarnya aku gak terlalu suka dengan pola hubungan kami yang seperti
ini Bang, dia disana dan aku disini, terlalu banyak tanda tanya dengan hubungan
kami” jelas Ina.
“begitu ya In,
kenapa enggak cari penganti yang pasti-pasti saja misalnya aku” aku sedikit
bercanda. Wajah Ina berubah kaget. “hehe emang menurut Bang Udin, aku tuh
orangnya gimana?” “gimana ya In, kamu itu baik menarik tapi terkadang kelihatan
genit” “masak Bang,” “Iya In, saat kamu digodain anak-anak cowok terdakang kamu
kelihatan genit”
“kalau aku gimana
In?” aku gantian bertanya kepada Ina. “aku terlalu polos ya ?” belum sempat Ina
menjawab aku sudah mendahuluinya berbicara. “iya bang, sampean itu polos.., pendiem tapi pinter”. “gimana In
tertarik berarti sama aku” aku masih berniat untuk menggoda Ina. Ina terlihat
malu-malu untuk menjawab, dan tatapan matanya seolah berkata, Bang Udin PeDe
banget ngomong gitu . itu yang aku lihat dari sorot matanya.
“ye,,ya enggak
segampang itu lah Bang, lagian kalau pun kita jadian, hubungan ini akan semakin
rumit. Apa Abang udah benar-benar bisa ngelupain Ema?” pertanyaan Ina membuatku
sulit langsung menjawab. Benar juga kata Ina, jika hubunganku dengan Ina
dilanjutkan ke arah serius, seperti jadian maka aku akan membuat pola hubungan
baru yang lebih rumit. Aku terdiam sejenak. Baru aku mulai berkata lagi.
“memang seh In,
aku belom benar-benar bisa melupakan Ema, tapi jika kamu tahu sendiri kan In,
bagaimana cerita hubungan ku dengan Ema. Kamu tahu sendiri perasaanku dengan
Ema itu berbanding terbalik In. Hubungannya Ema dengan pacarnya sampai saat ini
juga masih langgeng-langgeng saja”.
“terus semisal
kita jadian, berarti aku jadi pelarian dong Bang, secara aku sendiri juga teman
dekatnya Ema, hemm jangan aku deh Bang”. Aku sedikit tertawa mendengar balasan
dari Ina. Dan aku pun juga tahu maskud dari kata-kata Ina. Tidak semudah apa
yang dikatakan ini benar-benar rumit, bagaimana seorang sahabat menjaga
perasaannya demi cinta yang mereka miliki.
“haha iya Ina
benar, tapi semisal kita jadian beneran ini akan lebih menarik lagi untuk
sebuah kisah persahabatan dan cinta. Dulu aku suka dengan Ema sekarang aku
mulai suka dengan mu, antara aku, kamu dan Ema, kita saling kenal satu sama
lain bahkan sudah akrab sejak lama. Ini terlihat lebih dramatis lagi daripada
kisah sedih yang sering diputar di TV.”
“ya sudah deh
Bang, ini memang tidak mudah. Percuma saja Abang berusaha mencintaiku namun
hati abang masih untuk Ema”.
“tunggu In,
justru aku berusaha mencintaimu untuk melupakan Ema.”
“serius Bang,
tapi jika suatu saat Ema bisa berubah untuk Abang, apakah abang akan balik ke
Ema?”
“maksud kamu In?”
“ya gini lho
Bang, semisal Ema benar-benar bisa berubah untuk Abang, putus dari pacarnya
lalu Ema menjadi seperti yang abang
inginkan, apakah abang masih mau jadi pacarnya misalny atau lebih dari itu?”
tegas Ina. Sambil memandangkan dengan tenang. Pertanyaan yang menusuk.
“sudahlah In,
jika kita terlalu membahas terlalu dalam entar malah gak selesai-selesai,
birkan semua berjalan apa adanya. Suatu saat saat kita semua sudah berpisah dan
menemukan jalan masing-masing tentu semua akan berubah. Bahkan kamu dan aku pun
berubah”.
Ina terdiam, dia mulai mengerti dari
kata-kata ku tadi.
◊◊◊◊◊
“sekarang kita
mau kemana lagi Bang, baru jam setengah
11” aku melihat jam dinding dan ternyata benar tidak terasa sudah satu jam aku
berbincang dengan Ina, sambil menikmati semangkuk soto. Sayang jika kebersamaan
dengan Ina seperti ini hanya sampai disini.
“gimana kalau
nonton bioskop In?” aku menawarkan kepada Ina.
“ide bagus itu
Bang, lagian aku juga pengen merefresh pikiran yang suntuk karena tugas”
Tanpa menunggu
lama lagi, aku dan Ina segera beranjak pergi dari warung itu. Dan mencari
gedung bioskop terdekat. Semula kami mengira kalau dalam MOG itu ada gedung
bioskopnya. Seperti orang yang sok tahu kami tetap yakin jika didalam MOG ada
bioskopnya, seperti yang ada di Matos. Setelah memarkir sepeda dan melalui
pintu masuk, kami berjalan santai menuju lantai demi lantai. Aku tetap berusaha
berjalan di dekat Ina, ingin rasanya ku gandeng tangan Ina, namun apa daya jika
itu kulakukan akan merusak suasana.
“bang di sebelah
mana seh bioskopnya? Ini sudah lantai paling atas sendiri” keluh Ina. “sebentar
In, pasti ada di sekitar sini” dengan percaya diri aku berjalan kecil
melihat-lihat di sekitar siapa tahu ada pintu bertuliskan bioskop. “bang
mending tanya mas cleningg servis deh, daripada celingak-celinguk kayak gini”
Kami pun memutuskan untuk bertanya
daripada malah bingung mencari pintu bioskop.
“mas disini gak
ada bioskop, kalau mau nonton bioskop ya di Matos sana?” wajah mas-mas clening
servis terlihat puas dengan menertawai kami seperti orang kampung yang baru
kenal kota malang. Aku dan Ina hanya tertawa gara-gara tingkah sok tahu kami.
◊◊◊◊◊
Beberpa menit
kemudian akhirnya kami sampai juga di Matos, salah satu mall besar yang ada di
kota Malang. Nah kalau disini aku memang sudah paham kalau ada bioskop ya
meskipun baru kali pertama nonton bioskop di Malang.
“dulu waktu masih
di kediri aku suka nonton di Golden In, “ “Golden dekatnya SR itu ya Bang?” “iya..,
kamu juga pernah kesana?” “pernah Bang, dulu pernah diajak temanku main
kesana?”
Aku tidak terlalu
kaget soal hal itu. Karena dulu Ina juga pernah sekolah dan pondok di Kediri.
Susana antrian bioskop di Matos.
“in mau nonto
apa?” “yang seru Bang, nonton fast to fariuos 6 aja bang”.”oke deh,!” aku
langsung menyutujui keinginan Ina.
Beruntung kami
mengantri tidak terlalu lama dengan jadwal film yang ingin kami lihat. Sungguh
penyiksaan perasaan yang semakin memnunjak. Laju darah memompa semakin kenjang,
suasa romantis dalam gedung tidak bisa membuatku berbuat apa-apa.
“kesempatan Udin ayo pegang tangan Ina”
bisik setan dalam diriku.
Aku hanya kembali
melihat wajah Ina dengan senyum manis. Sungguh menyilaukan mata di tengah ruang
bioskop yang gelap. Bagai embun yang turun di pagi hari, cahaya wajah Ina
sungguh menyejukan. Kali ini aku benar-benar yakin selama ini aku sudah
tersesat dengan Ema, padahal Ina lebih dari pada Ema. Sungguh!
Kenangan kami hari itu akan selalu aku
ingat. Peristiwa 8 Juni, kencan seharian bersama Ina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar