Hidup tanpa seorang ibu bagai hidup tanpa arah dan tujuan.
Sejak kecil mereka (Orang tua Risa) meninggalkan Risa di tepi jalan. Nek
Midah lah yang dengan sabar, cinta, kasih dan sayang yang tulus merawat
Risa hingga ia berumur lima tahun. Entah apa yang menyebabkan kedua
orang tuanya tega meninggalkan ia seorang diri. Bahkan seekor serigala
pun rela mengorbankan nyawanya demi anak-anaknya. Dimanakah cinta kedua
orang tuanya itu.
Setiap hari, Risa ikut dengan Nek Midah untuk meminta-minta. Mereka selalu berada di sebuah gang yang memisahkan antara gedung kampus yang satu dengan gedung yang satunya lagi. Para mahasiswa meyebutnya dengan gang kelinci. Di Tepi gang tersebut banyak penjual yang menjajakan dagangannya. Selain itu ada juga sebuah kantin yang selalu ramai dikunjungi para mahasiswa.
Di sanalah tempat Nek Midah mencari rezeki. Meminta-minta pada mahasiswa yang sering lalu lalang di gang tersebut. Sekedar lewat atau bahkan mengisi perut mereka. Harapan sangat besar ia sandarkan pada mereka. Setidaknya kembalian dari pedagang saat ia membeli makanan, bisa di sisakan sedikit untuknya dan juga Risa.
Mereka menghabiskan malam di sebuah pos kamling yang sudah tidak digunakan lagi oleh warga. Risa sering kedinginan tatkala malam mulai datang. Ia sering tak bisa tidur lantaran dingin selalu mengusik tidurnya. “Kamu pakai selimut ini saja, ya.” Nek Midah menyelimuti tubuh Risa. Risa pun mulai beringsut menata posisi tubuhnya, setelah itu ia memejamkan matanya. Selimut itu adalah salah satu barang yang Risa miliki, selimut yang dulu menutup tubuhnya yang masih merah. Orang tuanya tega menelantarkan ia di dekat pos tersebut dengan berbalutkan selimut.
Malam itu, Nek Midah sedang tertidur lelap. Ia mendengar suara mobil yang berhenti di dekat Pos Kamling. Namun rasa kantuk yang menyergapnya, enggan membuatnya bangun. Ia mengira mobil milik orang yang tinggal di samping pos kamling. Ternyata, suara mobil itu terdengar lagi, suaranya semakin jauh dan menghilang. Kemudian ada suara tangisan bayi yang memekik telinganya. Nek Midah pun langsung kaget dan bangun. Dan mencari dari mana suara itu datangnya.
Dari kejauhan, Nek Midah melihat sesuatu yang bergerak-gerak dari arah suara itu. Saat ia mendekat, ternyata seorang bayi yang masih merah berbalutkan kain gedong. Nek Midah langsung mengambil bayi itu, dan merawatnya sampai risa berumur 5 tahun. Nek Midah adalah seorang nenek yang sudah tua, tinggal di Pos Kamling. Ia makan dari hasil meminta-minta pada orang. Dan terkadang, ia juga mencari botol plastik bekas yang kemudian ia jual. Meskipun Risa dibesarkan oleh orang seperti Nek Midah, Risa tetap sehat, dan tumbuh menjadi anak ceria.
Pagi itu, Marysa dan teman-temannya tengah asyik ngobrol di kedai dekat kampusnya. Entah apa yang membuat Risa berjalan mendekati Marsya dan teman-temannya. Dengan wajah yang polos, ia menengadahkan tangannya. “Mbak, minta Mbak. Saya belum makan.” Kata Risa dengan wajah memelas. Wajahnya putih dan bersih. Hanya saja, tubuhnya yang putih bersih itu, tertutup oleh baju yang lusuh, lepek, dan warnanya sudah memudar.
Ada sesuatu yang mengejutkan mata dan hati Marsya. Tangan kecil, putih dan sedikit kotor, dengan sebuah gelang batu permata berwarna biru di pergelangan tangan anak kecil itu. “Kamu siapa? Dimana orang tua kamu, Dik?” Tanya teman Marsya. Dengan wajah yang polos, ia menggelengkan kepalanya. Marsya hanya menatap tangan Risa yang disodorkan dekat dengan dagunya. Marsya hanya menatapnya dengan raut muka terkejut, wajah yang sedikit memerah. Kemudian ia menelan ludahnya dengan pelan dan menarik napas dalam-dalam. Entah apa yang ada di pikirannya, tatkala ia melihat Risa. Matanya pun berubah sedikit berkaca-kaca.
“Kamu mau makan?” Tanya Marsya. Risa kembali mengangguk, tapi kali ini dengan diikuti senyuman yang manis. “Pak, makanannya tambah satu, ya!” Kata Marsya pada pemilik kedai. “Sini, duduk. Kamu pasti lapar, ya.” Kata teman Risa. “Cantik ya dia?” Tambah teman Marsya yang lain. Saat makanan tiba, Risa dengan lahap menyantapnya. “Sya, ayo!” Ajak Damar yang tiba-tiba menghampiri meja makan Masrya. Marsya mengangguk pada Damar. “Aku balik dulu, ya?” Kata Marya berpamitan pada teman-temannya. Saat ia beranjak dari kursi, tangan Marsya mengusap kepala Risa, dan ia tak menghiraukan usapan lembut tangan Marsya. Usapan yang penuh makna dan kasih sayang yang tersembunyi.
Marsya terus membayangkan gadis kecil yang dilihatnya tadi siang. Pikirannya menjadi kabut dan gusar. Ada sesuatu yang mengingatkan ia akan suatu hal yang pernah ia lakukan. Kehadiran gadis kecil nan cantik itu, memebuat ia dibayang-bayangi oleh masa lalunya. Ia kemudian mengambil sebuah foto laki-laki yang ada di lacinya. “Fauzan, kenapa kamu pergi meninggalkanku?” Kata Marysa dengan menitikkan air mata tepat jatuh di wajah Fauzan pada foto yang di genggamnya. Tiba-tiba, Hp Marsya berdering. Tampak sebuah nama muncul di layar hpnya, Damar.
“Halo..,” Sapa Marsya sambil mengusap air matanya. “Sya, bagaimana dengan jawaban dari pertanyaanku kemarin?” Tanya Damar. Masrya langsung terkejut dengan pertanyaan Damar. “Aku.., aku..” Masya terdiam dan menggigit bibirnya, air mata pun kembali memebasahi pipinya. “Bagaimana, Sya?” Tanya Damar kembali. “Aku minta waktu, Damar. Aku belum bicara dengan kedua orang tuaku.” Jawab Marsya, dengan nada sedikit berat. “Baiklah, aku akan tunggu jawaban dari kamu, Sya. Aku berharap kita bisa bersama. Karena aku sangat mencintaiumu, dan ingin menjadikan kamu istriku, Sya.” Kata Damar.
Marsya sangat bingung dengan keinginan damar yang ingin menikahinya, tahun depan. Yaitu tepat saat kelulusannya. Tapi, hati Marysa masih diliputi kebimbangan. Damar adalah sosok yang baik. Sosok yang bisa menggantikan Fauzan dihatinya. Tapi, Damar terlalu baik untuknya. Dan marsya terlalau buruk untuk kehidupan Damar, menurutnya. “Kamu terlalu baik untukku, Damar. Terlalu banyak kebohongan yang aku sembunyikan. Marysa adalak sosok gadis yang cantik, baik hati. Tapi siapa sangka ia menyimpan suatu kisah yang suram dalam hidupnya.
—
“Marsya, kenapa kamu belum tidur?” Tanya mamanya. “Marsya belum ngantuk, Ma.” Jawab Marsya. “Menurut mama, Damar itu bagaimana?” Tanya Marsya. “Saat mama bertemu ketika kalian di wisuda, dia orangnya baik dan sopan sama mama dan papa. Memangnya kenapa?” Tanya mamanya. “Damar ingin menikahi Marsya, Ma.” Jawab Marsya. “Bagus, dong. Mama setuju sekali. Mama yakin papa juga setuju.” Jawab mamanya. Tapi, bagaimana dengan masa lalu Marsya, Ma. Marsya tidak mungkin memebohongi Damar.” Jawab Marsya yang matanya mulai berkaca-kaca.
“Dengar mama! Masa lalu adalah masa lalu. Kamu harus menata hidup yang baru. Dengan Damar adalah pilihan yang tepat. Lupakan semua.!” Tegas mamanya. “Tidak semudah itu, Ma” Air mata Marsya semakin mengucur deras. “Lebih baik kamu tidur. Mama sudah mengantuk. Jangan pernah ungkit-ungkit masa lalu, Marsya.” Kata mamanya yang kemudian meninggalkan kamarnya.
Masya lantas beringsut dari duduknya di atas kasur. Ia menghadap jendela di samping kamarnya. “Tidak semudah itu, melupakan masa lalu, Ma” Kata Marsya. ‘Ia kembali datang dan meminta pertanggung jawaban dari Marsya, Ma. Marsya tak tega, Ma. Gadis itu, kenapa gelangku ada di tanganya? Aku yang melahirkannya Ma. Kalau pun ada, aku ingin ia kembali dalam pelukanku, Ma. Damar. Dia harus tahu semuanya.
‘Damar begitu baik. Ia sudah terlalu lama menunggu jawaban dariku. Tapi, ia masih bertahan untuk menunggu jawaban yang tidak pasti dariku. Sejak kita masih kuliah hingga kita lulus dan hingga kami bekerja. Itu bukan waktu yang sebentar untuk menanti sebuah jawaban dariku. Aku tidak ingin meyimpan kebohongan lagi dalam hidupku. Aku ingin hidup tenang.’ Marsya masih terus menangis dalam hening malam, memikirkan kehidupan dan jalan yang akan di tempuhnya.
—
“Marsya, siapa mereka?” Tanya mamanya saat ia melihat seorang nenek dan gadis kecil berpakaian lusuh. Marsya kemudian mendekati mamanya. “Mama lihat..! mama ingat kan dengan gelang permata yang di pakai anak itu? Itu gelang Marysa Ma. Mama memakaikan gelang itu pada anak yang Marsya lahirkan itu, kan?” Kata Marsya yang didikuti air mata mengalir dari kedua matanya. Mamanya pun mendekati anak kecil itu. Dan memegang tangan anak itu, untuk memastikan gelang yang dipakainya.
Mama Marsya pun langsung terkejut, dan itu menandakan kebenaran apa yang dikatakan oleh Marsya. “Sebaiknya, kalian semua pulang. Jangan pernah ganggu kehidupan kami. Anggap saja tidak terjadi apa-apa antara kita.” Mama Marsya langsung mengusir Nek Midah dan Risa. Marsya mencegah mamanya, tapi sia-sia, mereka sudah pergi. “Marsya, mama tidak ingin kamu mengungkit-ungkit masa lalau kamu.” Kata mamanya dengan nada sedikit meembentak. “Ma, anak itu anak Marsya, ma. Apa mama tega jika mama dalam posisi Marsya, tidak kan, Ma? Mama tidak akan tega dengan Marsya kan, Ma.” Kata Marsya dengan menangis.
Mama marsya hanya terdiam dan tidak mengatakan apapun, lantas ia meninggalkan marsya sendiri. “Kamu kenapa Marsya?” Tanya papanya, sepulang dari kantor. Tapi, Marsya tidak mengeluarkan kata apa pun dari mulutnya. Ia lantas meninggalkan papanya dan masuk ke kamar.
Nek Midah masih tidak percaya dengan apa yang ia saksikan. Anak kecil yang selama ini ia besarkan ternyata adalah anak dari mahasiswa yang sering memberinya makan dan sering memberi hadiah pada Risa. Dari kejadian di rumah mewah itu, Nek Midah berpikir bahwa gadis itu tidak bermaksud untuk membuang anaknya. Tetapi, orang tuanyalah yang telah membuang cucunya sendiri. “Nenek kenapa?” Tanya Risa saat mereka pulang dari rumah Marsya. “Nenek tidak kenapa-kenapa”. “Apa benar, kakak itu ibu Risa, Nek?” Tanya Risa. “Sudahlah, kamu makan saja nasi bungkusnya, nanti keburu dingin.” Kata nenek. Risa pun tidak bertanya lagi pada nenekanya. Ia tahu, neneknya tidak akan menceritakan apa sebenarnya yang terjadi. Tapi, Nek Midah sendiri sebenarnya juga tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Ia hanya menerka dari apa yang ia lihat.
Sepertinya, kedua orang tua dari Marsya tidak menginginkan kehadiran Risa di tengah-tengah kehidupannya. Tapi, Nek Midah tidak pernah menghiraukan hal itu. Baginya, Risa adalah teman hidupnya dalam senang maupun susah. Ia yang sudah merawatnya sejak bayi merah. Kehidupannya yang susah dan miskin, hidup di jalanan, tak membuatnya merasa berat saat merawat Risa. Hatinyalah yang membuatya tegar dan ikhlas memebesarkan Risa dengan segala keterbatasan hidupnya.
Nek Midah akan merasa sedih jika ia harus hidup tanpa Risa. Ia terus memandangi gadis cantik dan selalu ceria, yang tidur dalam pangkuannya. Ia mengusap-usap dahinya, dan mengipas-ngipaskan selimut yang sudah lusuh dan pudar warnanya, agar tidak ada nyamuk yang hinggap di tubuhnya. Baginya, Risa adalah segala-galanya dalam hidup Nek Midah.
—
“Mungkin, selama ini kamu bertanya-tanya kenapa aku belum juga menjawab keinginanmu itu, Damar.” Kata Marsya pada Damar ketika mereka berbicara di sebuah taman. “Memangnya ada apa Marsya? Kalau pun kamu sudah mempunyai pilihan lain, aku bisa menerima. Mungkin, kamu memang bukan jodohku. Jujur, aku sudah lelah menunggunya. Aku ingin kepastian Marsya. Aku ingin mempunyai jalan hidup yang jelas. Agar hidupku tidak diam dan berhenti tanpa tujuan yang pasti.” Terang Damar.
“Sebelum akau tinggal di kota ini, aku dulu sempat berpacaran dengan laki-laki yang aku cintai. Hingga suatu saat kami melakukan suatu kesalahan yang besar. Aku hamil di luar nikah. Dia Fauzan, orang yang sangat aku cintai. Saat itu, ia berniat ingin kerumahku dan berniat ingin menikahiku. Tapi, ia meninggal karena kecelakaan ketika usia kehamilanku baru satu bulan. Aku bingung, karena orang tuaku menginginkan aku mengugurkan kandunganku. Karena, orang yang seharusnaya bertanggung jawab telah pergi untuk selama-lamanya.” Kata Marsya.
“Hingga mama memebawaku ke sini, karena mama dan papa merasa malu dengan para relasinya. Dan saat aku melahirkan, mama membuang bayiku.” Kata Marsya dengan tangis yang pecah. “Kenapa kamu tidak menceritakannya padaku, Sya?” Tanya Damar. “Aku malu Damar. Karena aku tidak pantas untukmu. Kamu terlalu baik untukku. Aku sebenarnya ingin berterus terang, tapi aku takut mengecewakanmu. Tapi, aku rasa aku sekarang justru sangat mengecewakanmu, setelah penantianmu sia-sia dan tak berarti apa-apa.” Kata Marsya.
“Sya, aku bertahan karena aku menecintaimu. Aku mau menerima apa pun yang terjadi padamu. Termasuk menerimamu dan menerima apa yang terjadi di masa lalu mu” Jawab Damar mantap. Saketika Marsya menatap Damar lekat-lekat, ada sinar kejujuran dan ketulusan terpancar dari keduanya. Marsya lantas memeluk Damar. “Terimakasih Damar”. Marsya menitikkan air matanya, yang jatuh di bahu Damar.
—
“Mereka tinggal dimana, Sya?” Tanya Damar saat mereka berdua mencari Risa dan neneknya. “Biasanya mereka jam segini sudah pulang.” Jawab Marsya dengan raut muka gelisah. “Sebaiknya, kita cari makan dulu. Kamu pasti lapar, Sya.” Kata Damar mengingatkan. “Tidak Damar. Aku tidak tenang jika aku belum bertemu dengan mereka. Kamu harus menolongku Damar. Karena kamu satu-satunya orang yang paham akan keinginanku. Mama dan papa tidak mungkin mengijinkan mereka tinggal bersamaku. Hanya kamu Damar, hanya kamu.” Kata Marsya, menangis lagi.
“Aku tahu, Sya. Seorang ibu tidak akan tega terhadap anaknya sendiri. Kamu harus menyakinkan mereka, kalau kamu tidak membuang bayi kamu. Itu semua adalah perbuatan kedua orang tuamu. Setelah kita menikah, kita akan tinggal dengan anak kamu, Sya. Anak aku juga” Kata Damar membuat hati Marsya tenang, dan ia mengecup kepala Marsya. Marsya merasakan kehangatan pelukan itu di badannya. Dan tiba-tiba, ia merasakan itu adalah pelukan hangat yang pernah ia dapatkan dari Fauzan saat mereka diliputi rasa cinta dengan pengekspresian yang salah. Tapi kali ini, Damar begitu beda.
Mereka pun menanti kedatangan Nek Midah dan juga Risa. Hari semakin larut malam dan udara berubah menjadi dingin. Marsya berharap, mereka akan segera datang dan ia dapat bertemu dengan gadis kecilnya yang cantik dan lucu. Ada sekelebat kerinduan dalam hatinya, ingin memeluk dan mengecupnya. Buah hati yang sangat dicintai oleh setiap ibu yang melahirkannya.
Dari kejauhan, Marsya dan Damar melihat seorang nenek yang berjalan tertatih dengan seorang gadis cantik yang berjalan dengan gontai di sampingnya. Hari yang sudah larut malam membuat mereka lelah setelah seharian mencari uang. Damar melepaskan pelukannya terhadap Marsya dan memeberitahu bahwa mereka sudah datang. Marsya berjalan pelan mendekati Risa. Matanya seolah berbicara pada gadis kecil itu. Gadis yang selama ini ia anggap telah tiada, ternyata tumbuh menjadi gadis yang tegar dan kuat dalam belaian seorang nenek tua dengan hidup yang sangat kurang layak.
Matanya menitikkan air mata, memendam kerinduan yang teramat dalam. Ia pun memeluk Risa. Risa hanya bisa terdiam dalam pelukan Marsya. Risa menikmati hangatnya, dan kelembutan belaian tangan Marsya di rambutnya yang pekat terkena debu. Hatinya bertanya-tanya dengan sikap wanita yang sering memberinya makan di kantin kampus. Siapa dia sebenarnya. Apakah benar dia ibunya, seperti yang dikatakan Ibu Marsya kala itu. “Maafkan mama, sayang. Maafkan ibu mama yang telah membiarkan kamu, sehingga kamu harus tinggal dengan keadaaan yang keras seperti ini.” Kata Marsya.
“Risa senang bisa tinggal dengan Nek Midah. Nek Midah baik dengan Risa.” Jawab Risa dengan polos, sembari menoleh ke belakang menatap Nek Midah, yang matanya mulai berkaca-kaca. Kedua mata Marsya yang memerah bengkak, dengan air mata mengalir, ingin mengatakan sesuatu kepada Nek Midah. ‘Biarkan dia ikut denganku, Nek. Biarkan aku merawatnya, karena aku adalah ibunya. Kasihanilah aku, Nek.’ Marsya kembali memeluk gadis itu. Damar hanya bisa menatap mereka, berharap akan ada akhir dari semua kejadian itu.
“Bawalah dia, jika memang itu yang terbaik. Nenek tidak mengharapkan apa pun dari kalian. Nenek hanya ingin dia bahagia. Itu saja.” Kata Nek Midah menitikkan air mata. “Cinta bunda telah hanyut hingga kamu kehilangan dia, hingga kamu tidak merasakan kehangatannya, kelembutannya, dan kasih sayangnya. Kini cinta itu telah mengalir kembali dalam lautan cinta bunda. Cinta yang lebih besar dan akan tercurahkan semua hanya untukmu, anak mama. Tinggallah bersama mama, sayang.” Pinta Marsya pada Risa.
Risa hanya menatap wanita yang ada di depannya, dan nenek yang ada di belakangnya. Ada kebimbangan dalam hatinya. “Tinggallah bersama mereka” Kata Nek Midah. Dan Risa pun memeluk erat Marsya, sebagaimana ia memeluknya dengan lembut. “Saya akan segera menikah dengan Marsya, dan saya sudah mengaanggap dia seperti anak saya sendiri. Dan saya akan senang jika Nek Midah mau tinggal bersama kami, menemani Risa.” Kata Damar. Risa pun tersenyum dan memeluk Nek Midah. Risa mengangguk-anggukkan kepalanya, agar Nek Midah mengiyakan permintaan Damar. Nek Midah pun menganggukkan kepalanya, sebagai tanda ia mau tinggal dengan mereka. Sungguh akhir yang memebahagiakan, ketika keikhlasan dan ketulusan ada dalam kehidupan manusia.
Selesai
Cerpen Karangan: Choirul Imroatin
Setiap hari, Risa ikut dengan Nek Midah untuk meminta-minta. Mereka selalu berada di sebuah gang yang memisahkan antara gedung kampus yang satu dengan gedung yang satunya lagi. Para mahasiswa meyebutnya dengan gang kelinci. Di Tepi gang tersebut banyak penjual yang menjajakan dagangannya. Selain itu ada juga sebuah kantin yang selalu ramai dikunjungi para mahasiswa.
Di sanalah tempat Nek Midah mencari rezeki. Meminta-minta pada mahasiswa yang sering lalu lalang di gang tersebut. Sekedar lewat atau bahkan mengisi perut mereka. Harapan sangat besar ia sandarkan pada mereka. Setidaknya kembalian dari pedagang saat ia membeli makanan, bisa di sisakan sedikit untuknya dan juga Risa.
Mereka menghabiskan malam di sebuah pos kamling yang sudah tidak digunakan lagi oleh warga. Risa sering kedinginan tatkala malam mulai datang. Ia sering tak bisa tidur lantaran dingin selalu mengusik tidurnya. “Kamu pakai selimut ini saja, ya.” Nek Midah menyelimuti tubuh Risa. Risa pun mulai beringsut menata posisi tubuhnya, setelah itu ia memejamkan matanya. Selimut itu adalah salah satu barang yang Risa miliki, selimut yang dulu menutup tubuhnya yang masih merah. Orang tuanya tega menelantarkan ia di dekat pos tersebut dengan berbalutkan selimut.
Malam itu, Nek Midah sedang tertidur lelap. Ia mendengar suara mobil yang berhenti di dekat Pos Kamling. Namun rasa kantuk yang menyergapnya, enggan membuatnya bangun. Ia mengira mobil milik orang yang tinggal di samping pos kamling. Ternyata, suara mobil itu terdengar lagi, suaranya semakin jauh dan menghilang. Kemudian ada suara tangisan bayi yang memekik telinganya. Nek Midah pun langsung kaget dan bangun. Dan mencari dari mana suara itu datangnya.
Dari kejauhan, Nek Midah melihat sesuatu yang bergerak-gerak dari arah suara itu. Saat ia mendekat, ternyata seorang bayi yang masih merah berbalutkan kain gedong. Nek Midah langsung mengambil bayi itu, dan merawatnya sampai risa berumur 5 tahun. Nek Midah adalah seorang nenek yang sudah tua, tinggal di Pos Kamling. Ia makan dari hasil meminta-minta pada orang. Dan terkadang, ia juga mencari botol plastik bekas yang kemudian ia jual. Meskipun Risa dibesarkan oleh orang seperti Nek Midah, Risa tetap sehat, dan tumbuh menjadi anak ceria.
Pagi itu, Marysa dan teman-temannya tengah asyik ngobrol di kedai dekat kampusnya. Entah apa yang membuat Risa berjalan mendekati Marsya dan teman-temannya. Dengan wajah yang polos, ia menengadahkan tangannya. “Mbak, minta Mbak. Saya belum makan.” Kata Risa dengan wajah memelas. Wajahnya putih dan bersih. Hanya saja, tubuhnya yang putih bersih itu, tertutup oleh baju yang lusuh, lepek, dan warnanya sudah memudar.
Ada sesuatu yang mengejutkan mata dan hati Marsya. Tangan kecil, putih dan sedikit kotor, dengan sebuah gelang batu permata berwarna biru di pergelangan tangan anak kecil itu. “Kamu siapa? Dimana orang tua kamu, Dik?” Tanya teman Marsya. Dengan wajah yang polos, ia menggelengkan kepalanya. Marsya hanya menatap tangan Risa yang disodorkan dekat dengan dagunya. Marsya hanya menatapnya dengan raut muka terkejut, wajah yang sedikit memerah. Kemudian ia menelan ludahnya dengan pelan dan menarik napas dalam-dalam. Entah apa yang ada di pikirannya, tatkala ia melihat Risa. Matanya pun berubah sedikit berkaca-kaca.
“Kamu mau makan?” Tanya Marsya. Risa kembali mengangguk, tapi kali ini dengan diikuti senyuman yang manis. “Pak, makanannya tambah satu, ya!” Kata Marsya pada pemilik kedai. “Sini, duduk. Kamu pasti lapar, ya.” Kata teman Risa. “Cantik ya dia?” Tambah teman Marsya yang lain. Saat makanan tiba, Risa dengan lahap menyantapnya. “Sya, ayo!” Ajak Damar yang tiba-tiba menghampiri meja makan Masrya. Marsya mengangguk pada Damar. “Aku balik dulu, ya?” Kata Marya berpamitan pada teman-temannya. Saat ia beranjak dari kursi, tangan Marsya mengusap kepala Risa, dan ia tak menghiraukan usapan lembut tangan Marsya. Usapan yang penuh makna dan kasih sayang yang tersembunyi.
Marsya terus membayangkan gadis kecil yang dilihatnya tadi siang. Pikirannya menjadi kabut dan gusar. Ada sesuatu yang mengingatkan ia akan suatu hal yang pernah ia lakukan. Kehadiran gadis kecil nan cantik itu, memebuat ia dibayang-bayangi oleh masa lalunya. Ia kemudian mengambil sebuah foto laki-laki yang ada di lacinya. “Fauzan, kenapa kamu pergi meninggalkanku?” Kata Marysa dengan menitikkan air mata tepat jatuh di wajah Fauzan pada foto yang di genggamnya. Tiba-tiba, Hp Marsya berdering. Tampak sebuah nama muncul di layar hpnya, Damar.
“Halo..,” Sapa Marsya sambil mengusap air matanya. “Sya, bagaimana dengan jawaban dari pertanyaanku kemarin?” Tanya Damar. Masrya langsung terkejut dengan pertanyaan Damar. “Aku.., aku..” Masya terdiam dan menggigit bibirnya, air mata pun kembali memebasahi pipinya. “Bagaimana, Sya?” Tanya Damar kembali. “Aku minta waktu, Damar. Aku belum bicara dengan kedua orang tuaku.” Jawab Marsya, dengan nada sedikit berat. “Baiklah, aku akan tunggu jawaban dari kamu, Sya. Aku berharap kita bisa bersama. Karena aku sangat mencintaiumu, dan ingin menjadikan kamu istriku, Sya.” Kata Damar.
Marsya sangat bingung dengan keinginan damar yang ingin menikahinya, tahun depan. Yaitu tepat saat kelulusannya. Tapi, hati Marysa masih diliputi kebimbangan. Damar adalah sosok yang baik. Sosok yang bisa menggantikan Fauzan dihatinya. Tapi, Damar terlalu baik untuknya. Dan marsya terlalau buruk untuk kehidupan Damar, menurutnya. “Kamu terlalu baik untukku, Damar. Terlalu banyak kebohongan yang aku sembunyikan. Marysa adalak sosok gadis yang cantik, baik hati. Tapi siapa sangka ia menyimpan suatu kisah yang suram dalam hidupnya.
—
“Marsya, kenapa kamu belum tidur?” Tanya mamanya. “Marsya belum ngantuk, Ma.” Jawab Marsya. “Menurut mama, Damar itu bagaimana?” Tanya Marsya. “Saat mama bertemu ketika kalian di wisuda, dia orangnya baik dan sopan sama mama dan papa. Memangnya kenapa?” Tanya mamanya. “Damar ingin menikahi Marsya, Ma.” Jawab Marsya. “Bagus, dong. Mama setuju sekali. Mama yakin papa juga setuju.” Jawab mamanya. Tapi, bagaimana dengan masa lalu Marsya, Ma. Marsya tidak mungkin memebohongi Damar.” Jawab Marsya yang matanya mulai berkaca-kaca.
“Dengar mama! Masa lalu adalah masa lalu. Kamu harus menata hidup yang baru. Dengan Damar adalah pilihan yang tepat. Lupakan semua.!” Tegas mamanya. “Tidak semudah itu, Ma” Air mata Marsya semakin mengucur deras. “Lebih baik kamu tidur. Mama sudah mengantuk. Jangan pernah ungkit-ungkit masa lalu, Marsya.” Kata mamanya yang kemudian meninggalkan kamarnya.
Masya lantas beringsut dari duduknya di atas kasur. Ia menghadap jendela di samping kamarnya. “Tidak semudah itu, melupakan masa lalu, Ma” Kata Marsya. ‘Ia kembali datang dan meminta pertanggung jawaban dari Marsya, Ma. Marsya tak tega, Ma. Gadis itu, kenapa gelangku ada di tanganya? Aku yang melahirkannya Ma. Kalau pun ada, aku ingin ia kembali dalam pelukanku, Ma. Damar. Dia harus tahu semuanya.
‘Damar begitu baik. Ia sudah terlalu lama menunggu jawaban dariku. Tapi, ia masih bertahan untuk menunggu jawaban yang tidak pasti dariku. Sejak kita masih kuliah hingga kita lulus dan hingga kami bekerja. Itu bukan waktu yang sebentar untuk menanti sebuah jawaban dariku. Aku tidak ingin meyimpan kebohongan lagi dalam hidupku. Aku ingin hidup tenang.’ Marsya masih terus menangis dalam hening malam, memikirkan kehidupan dan jalan yang akan di tempuhnya.
—
“Marsya, siapa mereka?” Tanya mamanya saat ia melihat seorang nenek dan gadis kecil berpakaian lusuh. Marsya kemudian mendekati mamanya. “Mama lihat..! mama ingat kan dengan gelang permata yang di pakai anak itu? Itu gelang Marysa Ma. Mama memakaikan gelang itu pada anak yang Marsya lahirkan itu, kan?” Kata Marsya yang didikuti air mata mengalir dari kedua matanya. Mamanya pun mendekati anak kecil itu. Dan memegang tangan anak itu, untuk memastikan gelang yang dipakainya.
Mama Marsya pun langsung terkejut, dan itu menandakan kebenaran apa yang dikatakan oleh Marsya. “Sebaiknya, kalian semua pulang. Jangan pernah ganggu kehidupan kami. Anggap saja tidak terjadi apa-apa antara kita.” Mama Marsya langsung mengusir Nek Midah dan Risa. Marsya mencegah mamanya, tapi sia-sia, mereka sudah pergi. “Marsya, mama tidak ingin kamu mengungkit-ungkit masa lalau kamu.” Kata mamanya dengan nada sedikit meembentak. “Ma, anak itu anak Marsya, ma. Apa mama tega jika mama dalam posisi Marsya, tidak kan, Ma? Mama tidak akan tega dengan Marsya kan, Ma.” Kata Marsya dengan menangis.
Mama marsya hanya terdiam dan tidak mengatakan apapun, lantas ia meninggalkan marsya sendiri. “Kamu kenapa Marsya?” Tanya papanya, sepulang dari kantor. Tapi, Marsya tidak mengeluarkan kata apa pun dari mulutnya. Ia lantas meninggalkan papanya dan masuk ke kamar.
Nek Midah masih tidak percaya dengan apa yang ia saksikan. Anak kecil yang selama ini ia besarkan ternyata adalah anak dari mahasiswa yang sering memberinya makan dan sering memberi hadiah pada Risa. Dari kejadian di rumah mewah itu, Nek Midah berpikir bahwa gadis itu tidak bermaksud untuk membuang anaknya. Tetapi, orang tuanyalah yang telah membuang cucunya sendiri. “Nenek kenapa?” Tanya Risa saat mereka pulang dari rumah Marsya. “Nenek tidak kenapa-kenapa”. “Apa benar, kakak itu ibu Risa, Nek?” Tanya Risa. “Sudahlah, kamu makan saja nasi bungkusnya, nanti keburu dingin.” Kata nenek. Risa pun tidak bertanya lagi pada nenekanya. Ia tahu, neneknya tidak akan menceritakan apa sebenarnya yang terjadi. Tapi, Nek Midah sendiri sebenarnya juga tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Ia hanya menerka dari apa yang ia lihat.
Sepertinya, kedua orang tua dari Marsya tidak menginginkan kehadiran Risa di tengah-tengah kehidupannya. Tapi, Nek Midah tidak pernah menghiraukan hal itu. Baginya, Risa adalah teman hidupnya dalam senang maupun susah. Ia yang sudah merawatnya sejak bayi merah. Kehidupannya yang susah dan miskin, hidup di jalanan, tak membuatnya merasa berat saat merawat Risa. Hatinyalah yang membuatya tegar dan ikhlas memebesarkan Risa dengan segala keterbatasan hidupnya.
Nek Midah akan merasa sedih jika ia harus hidup tanpa Risa. Ia terus memandangi gadis cantik dan selalu ceria, yang tidur dalam pangkuannya. Ia mengusap-usap dahinya, dan mengipas-ngipaskan selimut yang sudah lusuh dan pudar warnanya, agar tidak ada nyamuk yang hinggap di tubuhnya. Baginya, Risa adalah segala-galanya dalam hidup Nek Midah.
—
“Mungkin, selama ini kamu bertanya-tanya kenapa aku belum juga menjawab keinginanmu itu, Damar.” Kata Marsya pada Damar ketika mereka berbicara di sebuah taman. “Memangnya ada apa Marsya? Kalau pun kamu sudah mempunyai pilihan lain, aku bisa menerima. Mungkin, kamu memang bukan jodohku. Jujur, aku sudah lelah menunggunya. Aku ingin kepastian Marsya. Aku ingin mempunyai jalan hidup yang jelas. Agar hidupku tidak diam dan berhenti tanpa tujuan yang pasti.” Terang Damar.
“Sebelum akau tinggal di kota ini, aku dulu sempat berpacaran dengan laki-laki yang aku cintai. Hingga suatu saat kami melakukan suatu kesalahan yang besar. Aku hamil di luar nikah. Dia Fauzan, orang yang sangat aku cintai. Saat itu, ia berniat ingin kerumahku dan berniat ingin menikahiku. Tapi, ia meninggal karena kecelakaan ketika usia kehamilanku baru satu bulan. Aku bingung, karena orang tuaku menginginkan aku mengugurkan kandunganku. Karena, orang yang seharusnaya bertanggung jawab telah pergi untuk selama-lamanya.” Kata Marsya.
“Hingga mama memebawaku ke sini, karena mama dan papa merasa malu dengan para relasinya. Dan saat aku melahirkan, mama membuang bayiku.” Kata Marsya dengan tangis yang pecah. “Kenapa kamu tidak menceritakannya padaku, Sya?” Tanya Damar. “Aku malu Damar. Karena aku tidak pantas untukmu. Kamu terlalu baik untukku. Aku sebenarnya ingin berterus terang, tapi aku takut mengecewakanmu. Tapi, aku rasa aku sekarang justru sangat mengecewakanmu, setelah penantianmu sia-sia dan tak berarti apa-apa.” Kata Marsya.
“Sya, aku bertahan karena aku menecintaimu. Aku mau menerima apa pun yang terjadi padamu. Termasuk menerimamu dan menerima apa yang terjadi di masa lalu mu” Jawab Damar mantap. Saketika Marsya menatap Damar lekat-lekat, ada sinar kejujuran dan ketulusan terpancar dari keduanya. Marsya lantas memeluk Damar. “Terimakasih Damar”. Marsya menitikkan air matanya, yang jatuh di bahu Damar.
—
“Mereka tinggal dimana, Sya?” Tanya Damar saat mereka berdua mencari Risa dan neneknya. “Biasanya mereka jam segini sudah pulang.” Jawab Marsya dengan raut muka gelisah. “Sebaiknya, kita cari makan dulu. Kamu pasti lapar, Sya.” Kata Damar mengingatkan. “Tidak Damar. Aku tidak tenang jika aku belum bertemu dengan mereka. Kamu harus menolongku Damar. Karena kamu satu-satunya orang yang paham akan keinginanku. Mama dan papa tidak mungkin mengijinkan mereka tinggal bersamaku. Hanya kamu Damar, hanya kamu.” Kata Marsya, menangis lagi.
“Aku tahu, Sya. Seorang ibu tidak akan tega terhadap anaknya sendiri. Kamu harus menyakinkan mereka, kalau kamu tidak membuang bayi kamu. Itu semua adalah perbuatan kedua orang tuamu. Setelah kita menikah, kita akan tinggal dengan anak kamu, Sya. Anak aku juga” Kata Damar membuat hati Marsya tenang, dan ia mengecup kepala Marsya. Marsya merasakan kehangatan pelukan itu di badannya. Dan tiba-tiba, ia merasakan itu adalah pelukan hangat yang pernah ia dapatkan dari Fauzan saat mereka diliputi rasa cinta dengan pengekspresian yang salah. Tapi kali ini, Damar begitu beda.
Mereka pun menanti kedatangan Nek Midah dan juga Risa. Hari semakin larut malam dan udara berubah menjadi dingin. Marsya berharap, mereka akan segera datang dan ia dapat bertemu dengan gadis kecilnya yang cantik dan lucu. Ada sekelebat kerinduan dalam hatinya, ingin memeluk dan mengecupnya. Buah hati yang sangat dicintai oleh setiap ibu yang melahirkannya.
Dari kejauhan, Marsya dan Damar melihat seorang nenek yang berjalan tertatih dengan seorang gadis cantik yang berjalan dengan gontai di sampingnya. Hari yang sudah larut malam membuat mereka lelah setelah seharian mencari uang. Damar melepaskan pelukannya terhadap Marsya dan memeberitahu bahwa mereka sudah datang. Marsya berjalan pelan mendekati Risa. Matanya seolah berbicara pada gadis kecil itu. Gadis yang selama ini ia anggap telah tiada, ternyata tumbuh menjadi gadis yang tegar dan kuat dalam belaian seorang nenek tua dengan hidup yang sangat kurang layak.
Matanya menitikkan air mata, memendam kerinduan yang teramat dalam. Ia pun memeluk Risa. Risa hanya bisa terdiam dalam pelukan Marsya. Risa menikmati hangatnya, dan kelembutan belaian tangan Marsya di rambutnya yang pekat terkena debu. Hatinya bertanya-tanya dengan sikap wanita yang sering memberinya makan di kantin kampus. Siapa dia sebenarnya. Apakah benar dia ibunya, seperti yang dikatakan Ibu Marsya kala itu. “Maafkan mama, sayang. Maafkan ibu mama yang telah membiarkan kamu, sehingga kamu harus tinggal dengan keadaaan yang keras seperti ini.” Kata Marsya.
“Risa senang bisa tinggal dengan Nek Midah. Nek Midah baik dengan Risa.” Jawab Risa dengan polos, sembari menoleh ke belakang menatap Nek Midah, yang matanya mulai berkaca-kaca. Kedua mata Marsya yang memerah bengkak, dengan air mata mengalir, ingin mengatakan sesuatu kepada Nek Midah. ‘Biarkan dia ikut denganku, Nek. Biarkan aku merawatnya, karena aku adalah ibunya. Kasihanilah aku, Nek.’ Marsya kembali memeluk gadis itu. Damar hanya bisa menatap mereka, berharap akan ada akhir dari semua kejadian itu.
“Bawalah dia, jika memang itu yang terbaik. Nenek tidak mengharapkan apa pun dari kalian. Nenek hanya ingin dia bahagia. Itu saja.” Kata Nek Midah menitikkan air mata. “Cinta bunda telah hanyut hingga kamu kehilangan dia, hingga kamu tidak merasakan kehangatannya, kelembutannya, dan kasih sayangnya. Kini cinta itu telah mengalir kembali dalam lautan cinta bunda. Cinta yang lebih besar dan akan tercurahkan semua hanya untukmu, anak mama. Tinggallah bersama mama, sayang.” Pinta Marsya pada Risa.
Risa hanya menatap wanita yang ada di depannya, dan nenek yang ada di belakangnya. Ada kebimbangan dalam hatinya. “Tinggallah bersama mereka” Kata Nek Midah. Dan Risa pun memeluk erat Marsya, sebagaimana ia memeluknya dengan lembut. “Saya akan segera menikah dengan Marsya, dan saya sudah mengaanggap dia seperti anak saya sendiri. Dan saya akan senang jika Nek Midah mau tinggal bersama kami, menemani Risa.” Kata Damar. Risa pun tersenyum dan memeluk Nek Midah. Risa mengangguk-anggukkan kepalanya, agar Nek Midah mengiyakan permintaan Damar. Nek Midah pun menganggukkan kepalanya, sebagai tanda ia mau tinggal dengan mereka. Sungguh akhir yang memebahagiakan, ketika keikhlasan dan ketulusan ada dalam kehidupan manusia.
Selesai
Cerpen Karangan: Choirul Imroatin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar